Para pria mulai dari anak-anak hingga orang dewasa tumpah
ruah di tengah jalan. Ada yang mengatur lalu lintas, ada pula yang “berenang”
di tengah pekatnya air yang menggenang. Semuanya terlihat takjub, meski setiap
hujan turun, kondisi serupa kerap terjadi.
Banjir di kawasan Sayati Kabupaten Bandung terpisah di tiga
titik dengan jarak sekitar 100 meter. Titik pertama tepat di depan pertigaan
Sayati – Sukamenak. Dengan ketinggian hingga betis orang dewasa, beberapa
kendaraan umumnya lebih memilih jalan memutar lewat Pasar Sayati Lama.
Titik ke dua merupakan daerah dengan genangan air paling
tinggi hingga mencapai lutut orang dewasa. Genangan ini berasal dari luapan
Jembatan Cedok yang mengalir ke jalan. Pengendara motor biasanya memutar lewat
gang, sementara pengendara mobil dengan elevasi rendah harus memutar lewat
Pasar Sayati Lama.
Titik terakhir ada di depan SPBU setelah “jalan dengdek”.
Beberapa pengendara seringkali “ikut” masuk ke SPBU agar kendaraannya tak
terendam.
Kondisi ini diperparah dengan aspal di sepanjang jalan yang
mengelupas. Kupasan aspal ini menjadikan “jurang” menakutkan yang berpotensi
menimbulkan kecelakaan. Saya sempat merasa frustasi karena harus mengalami
kemacetan yang cukup mengesalkan sejak Gerbang Tol Kopo. Belum lagi saya harus
menyiapkan mental untuk melewati “danau” di tengah jalan tersebut.
Jalan Kopo merupakan salah satu akses jalan tersibuk yang
menghubungkan Kabupaten Bandung dan Kota Bandung. Anehnya, genangan air serta
kualitas aspal yang buruk tidak begitu mendapat perhatian yang layak dari
Pemerintah Kabupaten Bandung. Genangan air di kawasan Sayati bahkan telah
terjadi beberapa tahun silam. Jika hingga saat ini masih juga terendam, artinya
upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bandung tidak membuahkan hasil.
Harapan saya, siapapun pemangku kebijakan mau untuk
memperbaiki kondisi alam khususnya yang ada di kawasan Sayati. Sudah cukuplah
kami yang berkendara dari arah kota dipusingkan dengan kemacetan yang selalu
terjadi. Tak perlulah ditambah stress dengan banjir yang ada. Karena selain
menutup jalan, genangan air ini juga mematikan usaha masyarakat di sekitar
kawasan banjir. Belum lagi wisatawan potensial yang akan berkunjung ke Ciwidey
atau Pangalengan, mereka tentu berpikir dua kali jika ingin mengunjungi tempat
yang sama.
Semoga, ada langkah nyata yang dilakuan Pemerintah Kabupaten
Bandung demi mengatasi genangan air umumnya di Kabupaten Bandung. Karena saya
yakin, masyarakat pun sudah bosan berenang di “kolam renang” gratis tersebut.
*Dimuat di Surat Pembaca Harian Pikiran Rakyat Minggu 23 Desember 2012