“Runtah lah Anjing!”
Seru teman saya yang kesal karena perjalanannya terhambat
oleh rombongan belasan motor dengan bendera biru. Ia lalu update via twitter
kekesalannya tersebut. Saya pun manggut-manggut tanda maklum. Perilaku sebagian
besar bobotoh kala di jalanan memang ugal-ugalan dan tidak sopan.
Menguasai hampir seluruh jalan raya memang menjadi perilaku
yang seolah menjadi biasa kala Persib main kandang. Tak lupa, gaya memukul atau
menendang ke arah kendaraan dari lawan arah, hanya bisa membuat saya mengurut
dada. Anti-Plat-B pun semakin menjadi. Dan pelakunya: remaja tanggung usia
13an.
Mobil ayah saya menjadi korban. Saya berdomisili di dekat
stadion Jalak Harupat. Demikian pula dengan Ayah yang bekerja dekat stadion. Saya
selalu mewanti-wanti agar ia sebaiknya tidak bekerja kala persib main kandang.
Namun, pada suatu hari, saya lupa memberi tahu kalau Persib main, sore itu.
Alhasil, spion pecah dan tak terbayangkan betapa shocknya ayah saya.
Beberapa perusak menggunakan kaos bertuliskan “Hooligan”.
Lucu pikir saya. Remaja tanggung seperti ini mengerti apa mengenai “loyalitas”
ataupun “hooligan”, bahkan, apakah pernah ia menonton “Green Street Hooligan”.
Seberapa kencang ia sering menghina klub lain? Apakah ini loyalitas?
Saya pernah ikut konvoi bersama salah satu distrik Viking di
daerah timur. Ini adalah konvoi pertama saya secara resmi sejak awal start
hingga finish di stadion. Mereka umumnya terkoordinir dengan koordinator
lapangan yang jelas dan selalu minta menjaga ketertiban. Hanya saja, seperti
biasa, para remaja tanggung kerap berulah dengan mengganggu pengguna jalan
lain.
Saya cukup khawatir sebenarnya. Mengapa? Karena citra
suporter Persib memang sudah sedemikian rusak, terutama oleh mereka angkatan
tua. Pertandingan hari itu memang memancing emosi. Wajar, pertandingan panas
melawan klub ibu kota. Sehingga, mobil-mobil plat B menjadi sasaran amuk. Di
teriaki hingga dipukul dengan tongkat seolah menjadi kewajiban.
Saya lalu memerhatikan tiket yang sudah saya pegang. Tiket
tribun selatan seharga 25 ribu, namun saya membelinya dengan harga 60 ribu.
Tiket ini saya dapat dari distrik RESMI! Melalui seorang teman yang dekat
dengan pengurus di situ. Menurutnya, masalah tiket sudah menjadi ajang
pencarian uang oleh para oknum. Mereka hanya menjual kepada yang mau membeli
lebih.
Di sekitar perempatan Batununggal. Konvoi sempat terhenti
karena lampu merah. Di depan kami, sebuah mobil angkutan barang yang dipenuhi
para bocah berbaju biru tengah meneriakan yel-yel. Lalu, salah seorang diantara
rombongan, meminjam korek dari penumpang mobil angkutan tersebut. Ia lalu
bertanya dalam Bahasa Sunda: “Sudah punya tiket?”, penumpang tersebut
menggeleng. Lalu, keduanya “ces” dan berkata “Saya juga belum”.
Lucu! Menurut saya. Hal ini menjadi fenomena tersendiri di
Bandung. Di mana penonton tak bertiket berusaha untuk menunggu jebolnya pintu
stadion dan merangsek masuk. Mereka hanya menikmat suasana konvoi dan berusaha
menjadi raja jalanan dengan menghabisi setiap pengendara yang menghalangi.
Loyalita tanpa batas. Mungkin demikian slogan para suporter
ini. Aneh ketika loyalitas malah merugikan orang lain, dan merugikan klub yang
mereka cintai. Tidak membeli tiket, berarti tidak memberi apapun bagi klub.
Bahkan kegiatan konvoi-anarkis ini malah semakin menurunkan citra suporter itu sendiri.
Tulisan ini mungkin terkesan tendensius. Tapi tidak ada
niatan menjelek-jelekan Persib, suporter, ataupun siapapun. Kami semua keluarga
besar Persib. Tulisan ini bentuk kecintaan dan kerinduan saya akan suporter
yang lebih dewasa dan tidak mudah terprovokasi.
Dari saya, suporter yang rindu gelar juara.
Gambar dari: arenabola, blogspot, aepfirman