The Raid 2 (2014): Overrated!
13:04
Gua bukan gak percaya sama lo, tapi gua emang gak percaya siapa-siapa
Ketika mengetahui film ini sudah diputar di bioskop-bioskop,
saya sebetulnya agak malas karena mengetahui bahwa saya akan memiliki
ekspektasi yang sangat tinggi dari sekuel The Raid ini. Rumah produksi manapun
tentu akan berhati-hati ketika mengeluarkan sekuel dari sebuah film, karena
tidak mudah untuk memenuhi keinginan penonton yang selalu ingin lebih ketimbang
prekuelnya.
Dari sejumlah wawancara dan review dari kritikus film
internasional, saya telah diperingatkan bahwa film ini memiliki unsur drama
yang tidak terlalu bagus. Meskipun demikian The Raid 2 dinilai lebih brutal dan
jauh lebih eksplosif ketimbang filmnya yang pertama, yang hanya diputar-putar
di dalam gedung.
Rama (Iko Uwais) yang baru saja mengalami kejadian kurang
menyenangkan dalam The Raid, kembali
diminta untuk menjalankan tugas lainnya. Ia diminta oleh Bunawar (Cok Simbara)
untuk menelusuri jejak mafia tersebut
dengan masuk ke salah satu jaringan mafia terbesar yaitu keluarga Bangun (Tio
Pakusadewo). Rama pun sengaja dijebloskan ke penjara agar dapat membangun
relasi dengan Ucok (Arifin Putra) anak dari Bangun.
Jika di The Raid
penonton hanya dibuat deg-degan oleh Mad Dog, di The Raid 2 Berandal penonton harus semakin berhati-hati dengan
kehadiran Bejo (Alex Abbad), Eka (Oka Antara), dan keluarga mafia Gito. Di The Raid 2 Berandal penonton dapat
menghela nafas lebih panjang, karena kebrutalan tidak disajikan terus menerus
seperti pada The Raid.
Sajian yang buruk dari film ini aadalah penggarapan naskah
yang bernafaskan “inggris banget”. Naskah menjadi titik perhatian terutama
karena tidak adanya subtitle Bahasa
Inggris seperti di The Raid. Penamaan
tokoh pun cukup menggelikan seperti karakter Reza (Roy Marten) yang ternyata
adalah seorang bapak tua. Penamaan ini menurut saya cukup menjengkelkan karena
tidak adanya kedalaman karakter pada setiap tokoh, kecuali karakter Ucok dan
Bangun yang dieksplorasi lebih dalam.
Naskah yang ada pun sangat datar dan bahkan jauh lebih buruk
dari film komedi seks sekalipun. Selain itu, penggunaan white balance yang terlalu terang membuat film ini tampak seperti
film Ayat-Ayat Cinta. Tidak ada warna
kegelapan yang ditonjolkan, padahal seharusnya film ini bercerita tentang sisi lain
dari sebuah kota yang gelap dan penuh dengan kejahatan.
Kesalahan demi kesalahan tersebut tidak membuat film ini
kehilangan tenaganya. Puluhan aksi yang benar-benar brutal membuat film ini
tidak pernah kehilangan darah dalam setiap menitnya. Kemunculan karakter Ucok
juga mendapat perhatian yang besar di sini. Demikianhalnya dengan Hammer Girl (Julie
Estelle) dan Baseball Bat Man (Very Tri Yulisman) yang memberikan presentasi
cukup istimewa untuk menjadi villain
terkuat selain The Assasin (Cecep Arif Rahman).
Final fight antara Rama dengan The Assasin menurut saya
terlampau cepat dan tidak terlalu memorable seperti final fight Rama dengan Mad
Dog. Karakter The Assasin yang tidak terlalu ikonik berbanding lurus dengan
tidak adanya eksplorasi karakter dari Gareth. Final fight terkesan hambar dan
tentu saja dapat diketahui siapa pemenangnya.
Gareth Evans lebih senang mengeksploarsi unsur aksi yang
dibeberapa sisi menampilkan kengerian yang luar biasa. Bayangkan ketika
seseorang dibelah menggunakan golok dengan usus yang terburai. Aksi
kejar-kejaran dan tembak-tembakkan yang dijanjikan Gareth ternyata tidak
terlampau istimewa. Banyak hole yang dihindari Gareth di The Raid ternyata muncul di The
Raid 2. Bagaimana seseorang menggunakan senapan Uzi dengan satu tangan
dengan bergelantungan di pintu mobil.
Meskipun tidak seperti film peraih oscar, sejumlah aksi di
The Raid 2 jauh lebih brutal daripada film pemenang oscar manapun. Kehebatan
Gareth, sinematografi apik, serta tata kamera yang begitu buas, membuat 148
menit penceritaan tidak akan benar-benar terasa. Bahkan ketika berakhir
sekalipun, penonton masih ingin menyaksikan aksi yang lebih. Sukses Film
Indonesia!
0 komentar