Andibachtiar Yusuf (Ucup), Sang Romeo yang Sekarat !
14:12“Saha, ucup? Nu ngajieun film the jak?”
Itulah salah satu percakapan antara teman saya dan kakaknya ketika menanyakan Andibachtiar Yusuf, sang sutradara, produser, sekaligus jurnalis di salah satu Tv Swasta. Nada yang meninggi dari sang kakak, membuat saya bertanya-tanya sebegitu burukkah reputasi seorang Ucup dimata kakak teman saya tersebut?
Saya dan rekan saya pada awalnya memiliki sikap begitu simpatik kepada Ucup. Selain karena ia jebolan Jurusan Jurnalistik yang juga tempat di mana saya belajar sekarang, dosen-dosen pun sering membanggakannya sebagai mahasiswa dengan sinematografi terbaik. Dalam benak saya lalu muncul bayangan bahwa ia orang yang kreatif dan sedemikian rupa.
Namun, rasa kagum itu berubah 140 derajat ketika saya membuka arsip-arsip lama di viking cyber tentang pemutaran fil ‘Romeo Juliet”. Link tersebut mulai membawa saya ke ongisnade, situs kelompok suporter Aremania. Dalam arsip-arsip lamanya, mulai lah saya menelusuri tentang sosok ini di situs resminya andibachtiar.com.
Jujur, film “Romeo Juliet” lah yang melambungkan namanya, ditambah kasus pemukulan yang katanya oleh ketua Viking, Herru Joko, membuat namanya semakin bersinar. Untuk awal, saya akan menjelaskan kejadian seputar film ini, dan mengapa begitu “sensasional”.
Proses pembuatan film ini dari awal telah mendapatkan tanggapan negatif baik dari Jakmania maupun Viking. Hal tersebut ditulis oleh Ucup dalam webnya. Lalu, karena diancam akan diganggu apabila melakukan shooting di Bandung, si pengecut ini melakukan pengambilan gambar di Malang yang diset sedemikian rupa seperti di Bandung.
Ucup sebelumnya sukses (katanya, tapi saya belum pernah lihat) dengan film “The Conductor”, film dokumenter tentang Jakmania. Lalu, tanpa persetujuan yang jelas dengan kelompok suporter di Bandung, Ucup dengan arogan membuat film tersebut dengan menggunakan atribut “VIKING”. Saya tidak tahu apakah ia mendapat persetujuan dari Jakmania. Yang jelas, kalau Viking tidak suka, mereka bisa melaporkan balik Ucup atas nama pencemaran nama baik.
Emosi saya meninggi ketika Ucup merendahkan Viking di webnya. Pada awalnya ia mengundang dari Viking maupun Jakmania untuk menonton film buatannya versi Rouvh Cut artinya masih 70%. Shooting sudah beres hanya tinggal tempel, edit dan suara yang masih belum sempurna. Dalam versi ini, menurut Ucup, masih terbuka kemungkinan untuk banyak perubahan.
Setelah menonton film, sontak perwakilan dari Viking tidak setuju karena menganggap merendahkan martabat orang Sunda. Hal ini lalu mendapat cemooh dari Ucup yang ditulis di webnya. Intinya sih ia mengejek bahwa perwakilan Viking tidak tahu apa-apa soal film versi rough cut dan segala cibiran lainnya. Dalam benak saya, tentu saja mereka tidak tahu, mereka kan suporter bukan sineas.
Ketika film telah selesai dibuat, maka penayangannya diputar di Jakarta dan di Bandung. Di Bandung, tidak ada yang mau menayangkan selain di Blitzmegaplex. Oleh karena itu, untuk mempromosikan filmnya, Ucup mengundang sejumlah anggota Viking untuk menonton film itu edisi perdana. Ini menurut saya untuk merebut hati juga, karena sebelumnya, Viking dengan jelas menolak kehadiran film itu di Bandung. Ancamannya tegas, film ddiputar, bioskop dibakar!
Ucup lalu diberitahu untuk mengundang Viking lebih baik dibuat surat resmi saja agar terlihat formal dan Viking datang ke acara itu dengan resmi dan teratur. Ucup hampir saja membuat surat tersebut, hingga pada suatu saat, ia berfikir bahwa tidak perlu lah dibuat surat, mereka kan suporter dan tidak patuh terhadap keteraturan, pikirnya.
Sungguh, pemikiran yang bodoh. Ketika suporter ingin sesuatu dibuat teratur, ia malah menentangnya dengan mengatakan suporter benci keteraturan. Dalam webnya juga ditulis, bahwa ia mengundang Viking lewat webnya saja dengan menggunakan bahasa Indonesia, “kalo pake bahasa Inggris gue yakin lo gak pada ngerti,” tulis Ucup.
Sudah mulai memuncak kemarahan saya. Kali ini, kebencian saya tidak bisa ditutupi lagi. Ucup mengundang suporter lewat webnya, dia pikir, ia begitu terkenal, sehingga setiap saat ada yang membuka webnya. Dia pikir webnya itu google.com yang setiap online, selalu connect ke situ. Ucup pikir hanya ia orang Indonesia yang menguasai bahasa Inggris. Sungguh terlalu manusia ini.
Saya sudah menonton film Romeo Juliet. Tidak ada yang menarik dari film ini, yang hanya menambahkan bumbu seks, kekerasan dan serba kebetulan di dalamnya. Saya akui ia orang Jakarta dan keberpihakan kepada Jakmania lah yang digugat disini serta segala rasa lebay yang ia buat.
Saya aneh saja, anggota Viking keset dirumahnya baju persija warna oranye, tukang cuci motor di Bandung pakai kain oranye untuk mencuci motor. Rasanya tidak begitu juga. Kami (saya) benci Jakmania, tapi tidak setolol itu.
Pemeran pria yang anggota Jakmania terlihat begitu mengeksploitasi pemeran wanita yang anggota Viking. Eksploitasi ini seharusnya mendapat perhatian dari Komnas Anak dan Perempuan. Ditambah di ending ketika anggota Viking menusuk pemeran pria itu hingga tewas. Merusak moral, apa yang ingin diajarkan oleh Ucup dalam filmnya, tidak ada mendidik-mendidiknya. Ditambah bahasa-bahasa yang tidak layak disimpan di sebuah film.
Saran saya, kalau ia ingin membuat film sejenis ini, janganlah bersikap subjektif. Buatlah film dengan tanpa memasukan unsur dirinya (jakmania) kedalamnya. Saya masih menganggap kalau film ini ditujukan untuk yang suka perpecahan dan kerusuhan. Kalau mau, buat perselisihan antara Pusa Mania dan Balistik yang lebih panas. Percuma kalau buat film tapi lebay, selamat tinggal Romeo, Anda akan kukenang sebagai pecundang.
7 komentar
namanya juga film tentang supporter... kayaknye jangan diangap serius deh... lebay...
ReplyDeleteGa suka? Yaudah.
ReplyDeleteNyieun we film maneh sorangan. Gampang kan? Repot amat ngurusin film orang.
ga suka tulisan ini? buat tulisan lain lah. Blog aing, kumaha aing.
ReplyDeleteBagaimana kalau dia hanya ingin mengemukakan realita yang sebenarnya ada???
ReplyDeleteTendensius dalam sebuah film itu wajar, karena si Ucup juga terbentuk oleh struktur wacana Jakmania.
Kalau mau, lawan film dengan film.
Itu saja.
Satu lagi, saya rasa, tidak semua film yang mengangakat tema kekerasan adalah orang yang doyan kekerasan.
Saya menganggap, ketika karya sudah hadir ke ruang publik, sudah semestinya memisahkan penulis dengan teks (segala media tempat terjadinya praktik pemaknaan).
Dengan kata lain, "subjek" atau sutradara hanyalah efek dari film karya tersebut.
Jadi, yang semestinya dikritisi adalah wacananya, bukan subjeknya.
Sekian.
Terima Kasih.
"Dari orang yang juga tidak suka pada The Jak".
Sebenernya sih saya tidak menyoroti perseteruan kelompok suporter. Tapi lebih ke masalah kesukuan. Penghinaan terhadap masyarakat sunda terekam jelas kan di sana.
ReplyDeleteJelas dia secara tidak langsung mengatakan kalau bahasa sunda itu bahasa monyet. Belum lagi eksploitasi perempuan, intinya, perempuan bandung bisa diapain aja.
Nuhun komentar cerdasnya.
aink dukung tulisan maneh..!!
ReplyDeletesi pembuat film seolah" tidak berpendidikan..
Gak nyambung amat mang tulisannya, lain kali belajar lagi yah nulisnya... tulisan jelek begini gak layak lah dipajang... terlalu baper dan tidak mendidik karena tidak berfaedah tulisannya... jangan diulangi mang!
ReplyDelete