Perang Belerang di Awal Syawal
07:26
Kedua
turis itu mencelupkan tubuh mereka ke dalam kolam yang berbau
belerang. Masih dengan topi dan masker yang masih terpasang, keduanya
tak memedulikan tatapan aneh pengunjung lain.
Petugas sedang memberikan tiket |
Cuaca
panas di kampung Cipanas, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, tidak
menghalangi ratusan pengunjung untuk berwisata air panas. Umumnya,
mereka datang dengan bergerombol, dengan menggunakan sepeda motor,
mobil pribadi, mobil pick-up, hingga “truk sapi”. Mereka datang
dari berbagai daerah seperti Rangkasbitung, Tangerang, Bogor, dan
Jakarta. Padahal, untuk menuju tempat ini, mereka harus melalui jalan
provinsi yang rusak dan berlubang.
“Mau
main saja sama keluarga,” kata Heri sambil memakan mie instan.
“Lumayan jauh, sekitar 3 jam dari rumah di Balaraja (Tangerang)”.
Lalu apa yang membuat mereka begitu bersemangat untuk mandi air panas
di tengah terik matahari yang tak kalah panas? “Momen yang pas buat
kumpul keluarga,” ujar Widya, pengunjung asal Cibubur.
Savana
Batu Kancah (SBK) hanyalah satu dari dua pemandian air panas alam di
Kampung Cipanas. Pemandian lainnya bernama Tirta Lebak Buana (TLB),
yang hanya berjaral 30 meter dari SBK. Bedanya, TLB merupakan milik
Pemerintah Provinsi Banten, sedangkan SBK milik swasta. Keduanya
menyuguhkan pula pemandangan alam yang menakjubakan, seperti bukit
dengan batuan cadas sebagai fondasinya.
Pengunjung
pemandian air panas ini semakin tertarik dengan embel-embel beragam
khasiat yang dimiliki belerang. Contohnya saja untuk menyembuhkan
penyakit kulit, hingga paru-paru basah. Perbedaan yang terlihat,
pengunjung TLB umumnya hanya berendam beberapa menit, lalu naik.
Sedangkan SBK, pengunjung lebih aktif di dalam kolam seperti
berenang, karena suhu air yang tak lebih panas dari TLB.
Penarik pengunjung |
***
“Air
panas, air panas,” ujar Billy (30) sambil mengarahkan tangannya ke
arah tempat parkir SBK. Kulitnya bermandikan keringat, topi coklatnya
yang lusuh, tetap tak mampu menahan kejamnya sengatan sinar matahari.
“Benar-benar panas dek”
keluhnya, sesekali ia meneguk minuman dingin, lalu duduk untuk
mengelap tubuhnya yang bermandikan keringat.
Billy
adalah koordinator “penarik penunjung,” sebut saja begitu.
“Penarik pengunjung” bekerja di tengah jalan untuk
menginformasikan sekaligus menarik pengunjung agar masuk ke pemandian
air panas. Peran mereka begitu penting bagi SBK. Kiki menjelaskan,
karena SBK baru beroperasi selama dua tahun, maka, banyak calon
pengunjung yang belum mengetahui lokasi wisata ini, dan lebih memilih
ke TLB. “Sah-sah saja kan, kita hanya menunjukan lokasi, kalau
mereka (calon pengunjung) tidak mau, ya tak masalah,” ujarnya.
Baik
SBK maupun TLB memiliki “Penarik Pengunjung”nya masing-masing.
Tarik menarik pengunjung pun terjadi diantara dua pemandian ini.
Gesekan mulai dari “penarik pengunjung” hingga pihak pengelola
yang saling membesarkan volume pengeras suara, bahkan tak jarang,
beragam kabar tak sedap pun dihembuskan.
“Masyarakat
di sini belum siap menerima sesuatu yang baru,” kata Kiki “Isu-isu
negatif sering kami terima, seperti air yang kotor, ada yang
meninggal, misalnya. Ya, kami tanggapi dengan mengedepankan kualitas
pelayanan saja lah. Area parkir kami lebih luas, harga kami lebih
murah, akses ke kami pun lebih mudah”.
Meski
kedua pengelola pemandian ini masih memiliki ikatan darah, tapi
perang dingin tengah berkobar diantara keduanya. Euis Rahmat (69),
pemilik SBK berdalih bahwa ia tidak bermaksud untuk menyaingi TLB,
“Suami saya pensiunan, sedangkan sumber daya yang saya miliki hanya
air panas. Kalau tidak dikomersilkan, saya makan apa?”.
***
Lampu
penerangan jalan mulai menyala. Segerombol remaja menyisir rapi
rambutnya, lalu menaiki “truk sapi”. Diantara mereka masih
menggemakan takbir, meski kalender telah menunjukan tanggal 2 Syawal.
Supir “truk sapi” menyalakan kendaraannya, mesin mulai meraung
dengan gagah. Tanah tempat berpijakmya ban, mulai terkoyak, seiring
dengan jejak-jejak yang memanjang, menuju jalan raya, meninggalkan
kampung Cipanas.
Awal
syawal yang menakjubkan, pengunjung membludak melebihi perkiraan
pengelola. Lembaran-lembaran rupiah turut mengisi dompet warga
sekitar yang berjualan mie instan, buah-buahan, hingga para remaja
tanggung yang menjadi tukang parkir. Semuanya terlihat indah, seiring
dengan momentum untuk saling bermaafan. Meski perang masih dingin,
namun, bau belerang itu menghangatkan.
0 komentar