Sabtu (4/8) saya bertujuan ke Jalan Kepatihan. Sebelum belokan, kendaraan sudah terpantau padat, mengantri masuk ke Jalan Kepatihan.
Kondisi jalan begitu semrawut. Motor yang parkir di pinggir jalan, PKL yang
menduduki tiga perempat jalan, hingga ribuan pejalan kaki saling berebut
menduduki jalan tersebut.
Jalan dengan lebar tiga mobil tersebut, pada kenyataannya
hanya menyisakan satu lajur untuk kendaraan dan pejalan kaki berlalu lalang.
Saya memerlukan waktu 15 menit untuk mencapai Jalan Dewi Sartika padahal
jaraknya tidak seberapa.
Lantas saya iseng berkeliling lewat Jalan Dalem Kaum, Balong
Gede, Dewi Sartika, Asia Afrika, Otista, hingga kembali ke Kepatihan. Ada satu
fenomena yang saya temukan: rambu ‘dilarang berhenti’ seolah dianaktirikan.
Mereka yang parkir maupun calo parkir seolah buta melihat rambu bulat dengan
lingkaran merah yang dicoret menyamping. Secara kasar, jangankan parkir, untuk
berhenti pun tidak boleh jika ada rambu ‘s’ coret tersebut.
Entah kepada siapa saya harus merasa kesal. Pengendara
bermotor butuh tempat untuk parkir, PKL butuh tempat untuk berjualan, sementara
pejalan kaki mengharapkan trotoar untuk berjalan. Saya hanya menyesalkan tidak
adanya aparat yang berwenang untuk menegakan aturan yang sudah dibuat.
Padahal, tak jauh dari tempat tersebut, tepatnya di depan
Pasar Baru, belasan petugas kepolisian tengah asyik berdiri di tengah jalan
melakukan razia kendaraan. Apakah ini artinya pembiaran terhadap pelanggaran?
Mengapa petugas kepolisian lebih memprioritaskan rambu ‘dilarang putar balik’
atau ‘dilarang belok kiri langsung’ ketimbang rambu ‘dilarang berhenti’?
Semoga suatu hari nanti, tanpa perlu ada yang menegakkan,
masyarakat mampu dan mau untuk menaati peraturan yang telah ditentukan.
*seperti dimuat di Surat Pembaca Pikiran Rakyat 13 Agustus 2012