Sunardhi Yogantara, Berbakti untuk Citarum
08:23
Program
pengerukan Sungai Citarum memakan biaya Rp 1,3 triliun. Tahun ini merupakan
tahun terakhir dari program pemerintah pusat tersebut. Belum ada hasil yang
menggembirakan, sejumlah titik banjir masih setia berada di Kampung Cieunteung,
Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Lain halnya dengan pemerintah, Sunardhi
Yogantara memiliki jalan keluar tersendiri.
Hampir setiap
hari ia mengenakan baju safari dengan celana khaki. Di kepalanya selalu tersemat topi cokelat bersama senyum
dari wajah yang tak lagi muda. Pria yang akrab disapa Yoga ini merupakan salah
seorang pendiri perkumpulan Warga Peduli Lingkungan (WPL) yang terbentuk pada
tahun 2000 silam.
Saat ini Yoga
bersama WPL lebih fokus untuk mempersiapkan dan mengedukasi masyarakat. Hal ini
diungkapkan Yoga sebagai hardware follow
software. Hardware-nya sendiri
berarti fasilitas yang bersifat fisik atau struktural seperti pembangunan
tanggul dan software yang berarti
masyarakat itu sendiri.
Hal ini
dilakukan melihat kecenderungan pembangunan yang biasa dilakukan pemerintah.
Umumnya pemerintah hanya melakukan pembangunan struktural sementara pembangunan
nonstruktural terabaikan. Oleh karena itu, banyak dari pembangunan tersebut
menjadi terbengkalai karena tidak diurus masyarakat.
Dalam setiap
program yang dilakukan, ia selalu mengawalinya dengan identifikasi masyarakat.
Hal ini dilakukan agar tahu pendekatan seperti apa, strategi seperti apa, agar
masyarakat siap dan secara kolektif mau mengorganisasikan diri. Di setiap
program selalu ada tim fasilitator yang tugasnya mendampingi dan mengedukasi
masyarakat.
Yoga
mengungkapkan, format identifikasi tersebut mulai dari forum group discussion, diskusi kelompok, temu warga, dan rembuk
warga lalu dirumuskan konsep seperti apa yang nantinya akan dilakukan. Ini
bertujuan agar output dari program
tersebut bisa tercapai.
“Satu
masyarakat dengan masyarakat lain akan berbeda pendekatannya, maka identifikasi
mutlak dilakukan. Dengan adanya WPL, diharapkan masyarakat menjadi jauh lebih
siap ketika pembangunan fisik dilakukan,” tutur Yoga.
Kewajiban pemerintah daerah
Sungai Citarum
merupakan “kewajiban” pemerintah pusat dalam menata maupun merehabilitasi.
Namun, Yoga berpendapat semestinya pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah
Provinsi Jawa Barat maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung juga turut
bergerak. Jika pemerintah pusat lebih fokus di fisik atau struktural,
pemerintah daerah akan lebih optimal jika memberi perhatian lebih pada aspek nonstruktural.
Yoga
mengungkapkan, salah satu peran pemerintah daerah bisa dalam hal lain ihwal
masalah sungai. Misalnya, masalah sanitasi dan lingkungan. Ia menyatakan Pemkab
Bandung baru melayani maksimal 15 persen dari kebutuhan pembuangan sampah di
Kabupaten Bandung. “Lantas, ke mana sisa 85 persen lainnya? Dibakar atau
dibuang ke sungai, itu sudah pasti,” kata Yoga.
Sebenarnya Yoga
tidak menyalahkan perilaku masyarakat ini. Masyarakat tidak akan membuang
sampah sembarangan jika memang tidak ada sarananya. Jika pemerintah daerah
tidak menyediakan sarana, kemungkinan besar masyarakat akan membuang ke mana
saja.
Waterfront Garden
Hal inilah yang
membuat WPL kian aktif mengedukasi warga. Sejumlah program sudah dilakukan,
salah satunya yang tengah dilakukan adalah perbaikan sempadan sungai di wilayah
Kecamatan Ketapang, Kabupaten Bandung. Menurut Yoga, nantinya akan mengadopsi
konsep “Waterfront Garden”, sementara untuk kawasan permukiman akan mengacu
pada eco village.
Nantinya,
sempadan sungai yang terletak di Kampung Cikambuy, Desa Sangkanhurip, Kecamatan
Katapang akan dijadikan taman sepanjang satu kilometer. Hal ini dilakukan
sebagai bagian dari konservasi kawasan sungai, tetapi tetap menjadi sarana
beraktivitas bagi masyarakat.
”Secara
filosofis ini akan mengoneksikan kembali masyarakat dengan sungainya. Banyak
masyarakat yang tidak merasakan manfaat sungai bagi mereka. Inilah yang perlu
kita ubah, pelestarian sungai bisa sejalan dengan kebutuhan masyarakat itu
sendiri,” tutur Yoga.
Yoga selama ini
merasa jika terlalu banyak aturan yang melarang masyarakat untuk dekat dengan
sungai malah membuat mereka jauh dan semakin tak peduli dengan sungai. Menurut
Yoga, saat ini taman yang ada di Kampung Cikambuy tersebut menjadi sarana
rekreasi bagi masyarakat sekitar. Ia mengungkapkan, setiap sore ada belasan
warga yang nongkrong di taman pinggir sungai tersebut. Jika taman ini menjadi
kebutuhan seperti rekreasi, Yoga yakin masyarakat mau untuk menjaga taman
tersebut.
Sungai peradaban
Mengurusi
sungai memang tidak akan mendapatkan profit dalam bentuk uang. Hampir 13 tahun
bersama WPL, tetapi ia masih mau berbenah untuk Citarum. Menurut Yoga, dengan
lingkungan yang menjadi lebih baik, itu sudah merupakan nilai lebih untuk
dirinya.
”Jangan
mengharapkan uang untuk hal seperti ini. WPL lebih semacam gerakan kesadaran
masyarakat. Mungkin idealismelah yang masih membuat saya sampai seperti saat
ini. Tidak ada dan tidak mungkin ada imbalan, maka harus ada idealisme dalam
diri kita,” ucap Yoga.
WPL sendiri
memiliki tim sebanyak sepuluh orang. Menurut Yoga, semua yang turut terlibat di
WPL bukanlah mereka yang mencari profit, tetapi orang yang benar-benar peduli
terhadap lingkungannya. ”Perlu diingat, peradaban manusia dilihat dari
bagaimana mereka memperlakukan sungainya. Hal ini karena awal sebuah peradaban
bermula dari sungai,” tutup Yoga. [FVA]
*Seperti yang dimuat di Kompas Klasika Jabar
**Foto oleh Frasetya Vady Aditya
0 komentar