Indonesian Bamboo Community: Silakan Klaim Bambu Kami
17:01
Di Indonesia, bambu lekat dengan stigma “orang
susah”. Apa pun yang terbuat dari bambu dianggap mutunya masih di bawah kayu.
Padahal, orang Jerman dan Jepang yakin betul suatu saat bambu akan menjadi
komoditas utama dunia.
Pemikiran inilah yang coba
dikembangkan Adang Muhidin, penggagas Indonesian Bamboo Community (IBC). Bersama Abah Yudi Rahman, ia
membentuk IBC pada 2011. Abah Yudi sendiri disebut-sebut sebagai penemu biola
bambu pertama di dunia pada tahun 1970-an.
IBC terbentuk disebabkan rasa
prihatinnya karena di Indonesia bambu tidak digunakan secara semestinya. Bambu
lekat dengan kehidupan orang miskin karena biasa tumbuh di perkampungan atau
perdesaan. Petani bambu pun umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Jadi,
kehadiran IBC diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi bambu.
Adang mengungkapkan, ia
bersama IBC ingin mengubah pandangan orang-orang dalam melihat bambu. Kenapa
harus bambu? Varietas ini banyak tumbuh di Indonesia dan merupakan salah satu
yang terbaik di dunia. “Di luar (negeri), bambu diprediksi menjadi material
untuk masa depan. Kita boleh saja kalah secara teknologi, tetapi jangan pernah
kalah dalam kreativitas,” kata Adang.
Pria yang mengenyam pendidikan
S-2 di Fachhochschule Südwestfalen,
Iserlohn, Jerman, ini heran dengan pemikiran masyarakat Indonesia masa kini. Ia
mengungkapkan pengalamannya ketika menggelar pameran. Banyak pengunjung heran
melihat barang-barang dari bambu yang dijual mahal. “Untuk biola bambu, kami
banderol Rp 400 ribu. Kesan pertama orang-orang langsung heran karena bahan biola
dari bambu. Bambunya pun dari Indonesia pula. Padahal, bambu dari Indonesia-lah
yang terbaik. Inilah tugas saya bersama IBC,” ujarnya.
Adang Muhidin penggagas Indonesian Bamboo Community |
IBC resmi berdiri pada 30
April 2011 meski ide terbentuknya sudah ada sejak lama. Untuk menjadi bagian
dari IBC, calon anggota tidak dikenakan biaya pendaftaran alias gratis. Namun,
Adang membatasi hanya 40 orang anggota. Itu pun melalui tahapan seleksi
sehingga saat ini IBC hanya beranggotakan 20 orang.
Kegiatan di IBC mulai dari
membuat alat musik dari bambu, memainkan alat musik, hingga menjualnya. Bahkan,
IBC sempat diundang dua kali dalam perhelatan Java Jazz Festival. Meski
sederhana, IBC memiliki base camp dan
workshop dari kerajinan bambu. Kantor
IBC sendiri terletak di Perumahan Lembah Teratai Blok F2 Nomor 3, Kabupaten
Bandung Barat. Sementara itu, workshop-nya
berada di Jalan Pagarsih Barat Nomor 15, Bandung.
Tanpa perhatian pemerintah
Meski sudah melanglang buana ke berbagai daerah di
Indonesia untuk memperkenalkan bambu, nyatanya IBC masih berkutat soal pendanaan.
Adang menjelaskan, pihaknya berulang kali meminta bantuan kepada pemerintah
setempat maupun akademisi untuk turut membantu IBC. Namun, belum ada langkah
konkret yang diterima.
“Mereka (pemerintah) selalu
bilang ‘ya bagus’ atau ‘lanjutkan ya’, tetapi tanpa ada langkah nyata. Padahal,
IBC ini berarti Indonesian Bamboo Community. Kami membawa nama Indonesia bukan
hanya Bandung ataupun Jawa Barat,” tutur Adang.
Salah satu contoh kurangnya
perhatian pemerintah adalah biola bambu yang diperkenalkan oleh Abah Yudi
Rahman. Sejak 1979 hingga saat ini, tidak ada satu orang pun yang tertarik
untuk mengembangkannya di negeri ini. Padahal, beberapa tahun lalu ia diundang
ke Thailand untuk mengajarkan pembuatan biola bambu. Hasilnya, Thailand sudah
memproduksi biola bambu ini secara massal.
Gitar dari Bambu |
Mengenai perilaku masyarakat
yang heboh jika ada klaim dari negara asing, Adang tak mempermasalahkannya.
“Silakan klaim bambu kami. Tidak masalah biarlah karena bambu ini milik dunia.
Kami hanya fokus pada pemberdayaan masyarakat. Siapa pun boleh memproduksi dan
mempergunakan bambu,” tukas Adang.
IBC telah memproduksi 14 jenis
alat musik mulai dari gitar, bas, kontrabas, saksofon, klarinet, trombon,
benjo, cello, hingga piano bambu pun rencananya akan dibuat. Hal ini salah
satunya untuk mewujudkan IBC menjadi pembuat orkestra bambu pertama di dunia.
Untuk melengkapi orkestra tersebut, dibutuhkan piano yang saat ini baru tahap
riset. Namun, lagi-lagi karena keterbatasan biaya, produksi piano belum bisa
dilakukan.
Meskipun telah memproduksi
sejumlah alat musik, Adang mengaku kebanyakan konsumennya adalah warga negara
asing. “Perancis, Belgia, Swedia, Filipina, Jepang, dan Korea sudah pernah
pesan. Tapi, sejak tahun 2011 hanya empat orang warga negara Indonesia yang
pesan,” ujarnya. Ia mengaku tidak menyalahkan masyarakat karena seharusnya yang
memajukan ini pemerintah.
IBC telah menggelar Festival
Musik Bambu Se-Indonesia pada Februari lalu. Hal ini juga sebagai langkah
sosialisasi bagi masyarakat dalam memperkenalkan bambu. Selain itu, Sabtu (3/8)
lalu IBC menggelar buka bersama anak yatim dengan konsep konser mini, workshop, serta motivation building di Pasteur Hyper Point Bandung.
“Karena tidak ada tindak
lanjut dari pemerintah, kami menggaet anak yatim karena merekalah yang suatu saat
nanti memegang Indonesia. IBC juga sedang ada rezeki ya sekalian kami berbagi,”
kata Adang.
Manfaat bambu
IBC juga memperkenalkan bambu
sebagai varietas yang dapat digunakan dengan mudah. Kayu baru bisa digunakan
ketika usianya mencapai 50 tahun, sementara bambu yang berumur dua tahun sudah
dapat diproduksi. Bambu juga cocok ditanam di sempadan sungai sebagai pencegah
erosi karena akarnya mampu menahan tanah secara kuat. Di Jepang, ketika radiasi
nuklir mendera sebuah wilayah di negara tersebut, tumbuhan yang pertama kali
ditanam adalah bambu karena mampu menyerap racun.
“Apalagi di Indonesia bambu
biasanya bersifat simbolis. Dari dulu kita pasti berhubungan dengan bambu
seperti memotong tali ari ketika dilahirkan, menjadi penopang ketika akan
dikuburkan. Bahkan, ketika melawan penjajah, bambu runcing dijadikan simbol
perjuangan kita,” tegas Adang.
Selain fungsi simbolis, secara
teknik bambu merupakan produk yang cepat lentur. Daya tariknya lebih kuat dari
baja sekalipun. Adang mencontohkan saat Kerajaan Majapahit dulu mereka
menggunakan bambu untuk menarik perahu besar.
Adang berharap, masyarakat
untuk dapat memanfaatkan bambu. Hal ini dikarenakan bambu merupakan material
masa depan dan memiliki banyak manfaat. Adang sempat melepas pekerjaannya
selama enam tahun di Eropa. Lulusan tercepat dari Iserlohn Jerman ini lebih
memilih pulang ke Indonesia dan mengembangkan produk dengan material bambu.
IBC saat ini sudah gencar
menyosialisasikan bambu terutama lewat media, terutama ketika berlangsung event yang diselenggarakan IBC. “Kami
khususnya IBC ingin semua warga dunia melihat kita (Indonesia),” tutup Adang.
[FVA]
*seperti dimuat di Kompas Klasika Jawa Barat
** Foto oleh Frasetya Vady Aditya
0 komentar