Membunuh Lewat Point Blank
21:55Semakin menjamurnya warnet di berbagai pelosok di Indonesia, khususnya Jatinangor, Kabupaten Sumedang, membuat informasi begitu mengalir. Beragam dampak postif dan negatif mulai menghatui para pengguna warnet ini. Konten-konten yang tanpa penyaringan terlebih dahulu, membuat semuanya terasa begitu mudah.
Beberapa pemilik jasa warnet mengubah format. Mereka lebih fokus kepada “Game Online” karena memang persaingan warnet dan tumbuhnya koneksi internet di kos-kosan begitu besar. Permintaan pasar yang tinggi membuat “game online” semakin diminati. Mulai dari Ragnarok, Warcraft, Counter Strike, hingga yang paling fenomenal, Point Blank.
Permainan ini menamakan dirinya sebagai “The 1st Real FPS In Indonesia”. Game ini dikategorikan sebagai First Person Shooter (FPS). Setiap pemain menjadi dirinya sendiri dan menembak target yang sudah ditentukan. Kelebihannya dibandingkan dengan game FPS lainnya adalah menghubungkan pemain-pemain secara online. Sehingga pemain di Bandung bisa bersamaan bertarung melawan pemain dari Jakarta.
Segmen dari game ini adalah 13+. Artinya, pemain dibawah umur 13 sebaiknya tidak memainkan game ini karena mengandung unsur kekerasan. Namun, kenyataan berkata lain. Banyak anak usia SD yang bermain dengan menggunakan kata-kata kasar. Ditambah, perlunya membeli voucher untuk membeli senjata.
“Seru sih, tapi menghabiskan banyak uang,” tutur Riezky, pelajar kelas 1 SMA. Konten kekerasan di game ini memang tidak bisa dihindari karena format dan segmen permainannya memang untuk anak diatas tiga belas tahun.
Kenyataan lainnya adalah permainan ini begitu menyita waktu. Banyak anak sekolah yang sengaja begadang hanya untuk menghindari jam-jam padat di warnet. Satu dampak yang membuat geli yaitu ketika adanya serangan teroris di Indonesia. Ketika para orang tua mengamati senjata-senjata yang digunakan, anak-anak mereka dengan polos berkata “itu senjata M-16, variannya M4A1.” Waw, menakjubkan. Dampak positifnya ya melatih kecerdasan emosional anak dan merangsang kekompakan dalam tim juga pengetahuan akan senjata-senjata militer.
“Kalau di Jatinangor biasanya yang main itu mahasiswa dan anak-anak kecil,” kata (…), penjaga salah satu warnet di Jatinangor. Pendapatan yang cukup besar memang telah mengalihkan pandangan para pemilik warnet untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. “Saya tidak tahu persis berapa modalnya, tapi dari keuntungan memang lebih menjanjikan,” tutupnya.
Dari pengamatan, sepanjang bundaran cibiru hingga Jatingangor, telah berdiri belasan warnet yang memiliki aplikasi Point Blank. Jumlah tersebut belum termasuk warnet yang berada di daerah pelosok. Memang, rasa nasionalisme pemain terkadang begitu meluap-luap ketika memainkan karakter dalam game ini, namun, dapat pula memecah persaudaraan karena para pemainnya sering menggunakan kalimat-kalimat SARA sebagai selingan dalam “keseruan” game Point Blank.
Beberapa pemilik jasa warnet mengubah format. Mereka lebih fokus kepada “Game Online” karena memang persaingan warnet dan tumbuhnya koneksi internet di kos-kosan begitu besar. Permintaan pasar yang tinggi membuat “game online” semakin diminati. Mulai dari Ragnarok, Warcraft, Counter Strike, hingga yang paling fenomenal, Point Blank.
Permainan ini menamakan dirinya sebagai “The 1st Real FPS In Indonesia”. Game ini dikategorikan sebagai First Person Shooter (FPS). Setiap pemain menjadi dirinya sendiri dan menembak target yang sudah ditentukan. Kelebihannya dibandingkan dengan game FPS lainnya adalah menghubungkan pemain-pemain secara online. Sehingga pemain di Bandung bisa bersamaan bertarung melawan pemain dari Jakarta.
Segmen dari game ini adalah 13+. Artinya, pemain dibawah umur 13 sebaiknya tidak memainkan game ini karena mengandung unsur kekerasan. Namun, kenyataan berkata lain. Banyak anak usia SD yang bermain dengan menggunakan kata-kata kasar. Ditambah, perlunya membeli voucher untuk membeli senjata.
“Seru sih, tapi menghabiskan banyak uang,” tutur Riezky, pelajar kelas 1 SMA. Konten kekerasan di game ini memang tidak bisa dihindari karena format dan segmen permainannya memang untuk anak diatas tiga belas tahun.
Kenyataan lainnya adalah permainan ini begitu menyita waktu. Banyak anak sekolah yang sengaja begadang hanya untuk menghindari jam-jam padat di warnet. Satu dampak yang membuat geli yaitu ketika adanya serangan teroris di Indonesia. Ketika para orang tua mengamati senjata-senjata yang digunakan, anak-anak mereka dengan polos berkata “itu senjata M-16, variannya M4A1.” Waw, menakjubkan. Dampak positifnya ya melatih kecerdasan emosional anak dan merangsang kekompakan dalam tim juga pengetahuan akan senjata-senjata militer.
“Kalau di Jatinangor biasanya yang main itu mahasiswa dan anak-anak kecil,” kata (…), penjaga salah satu warnet di Jatinangor. Pendapatan yang cukup besar memang telah mengalihkan pandangan para pemilik warnet untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. “Saya tidak tahu persis berapa modalnya, tapi dari keuntungan memang lebih menjanjikan,” tutupnya.
Dari pengamatan, sepanjang bundaran cibiru hingga Jatingangor, telah berdiri belasan warnet yang memiliki aplikasi Point Blank. Jumlah tersebut belum termasuk warnet yang berada di daerah pelosok. Memang, rasa nasionalisme pemain terkadang begitu meluap-luap ketika memainkan karakter dalam game ini, namun, dapat pula memecah persaudaraan karena para pemainnya sering menggunakan kalimat-kalimat SARA sebagai selingan dalam “keseruan” game Point Blank.
0 komentar