Film Horror Barat (masih) tak Mampu Sinari Sineas Indonesia
01:23Sudah sekitar dua bulan ini, saya telah menonton empat film produksi Amerika. Tiga di antaranya adalah film horor dan yang satunya drama aksi. SAya memang bukan maniak film, sehingga perlu dimaklumi mengapa begitu sedikit film yang saya tonton dalam satu bulan.
Film-film itu adalah “The Last Exorcism,” “The Haunting in Connecticut,” “Source Code,” dan “SCRE4M”. Tiga film saya disaksikan di Regent, karena tiket yang murah (Rp.8000), dan “SCRE4M” di Empire, karena saya menginginkan efek suara yang lebih gahar.
Baiklah, seperti kita telah ketahui, menurut kabar yang berkembang, Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak dan Bea Cukai telah mengaktifkan bea masuk untuk film-film impor, setelah sebelumnya bea masuknya gratis, bahkan film Indonesia lebih mahal, katanya. Dengan kondisi seperti ini, mereka jual mahal dan menolak masuk ke Indonesia. Efeknya, film Indonesia lebih banyak di Bioskop, sementara film luar sedikit, bahkan kalaupun ada itu film agak jadul, 6 bulan yang lalu, misalnya.
DI beberapa infotainment, sang produser india, tau lah siapa, mengaku ia senang dengan penolakan bea masuk yang dilakukan film produksi Amerika, menurutnya, hal ini akan membuat perfilman Indonesia akan lebih baik. Begitu pula dengan berbagai sutradara yang menyatakan hal serupa, intinya, film Indonesia akan lebih bersaing.
Namun, kenyataan seolah berbanding terbalik. Hasil yang didapat, nihil. Film-film Indonesia masih berupa film hantu yang membodohi penontonya. Sehingga seringkali terlontar kata: “Film Indonesia hantu semua,” atau “jangan nonton film Indonesia lah, mending nonton bajakan film asing aja”. Waw, sampai segitunya ternyata respon dari para penonton dan beberapa teman yang sering saya dengar. Wajar, dengan minimnya kualitas film pabrikan Indonesia, disertai suramnya prospek pengetahuan di dalamnya, membuat penonton begitu malas.
Salah PRODUSER !
Sebegitu gelapnya film horor Indonesia, sehingga tak mampu tersinari oleh film asing yang menterang di luar sana. Ah, kasihan penonton Indonesia, siapa yang salah? Produsernya sih kalau pandangan saya. Bagaimana tidak, saya begitu ingat ketika ada film garapan india ini yang menawarkan mobil yang terbang, berputar, lalu terbalik. Oh waw, adegan ini bahkan dilakukan berulang-ulang. Menyedihkan.
Kenapa saya menyalahkan si porduser India? Karena market mereka jelas: orang-orang bodoh yang setidaknya mau beli tiket dan menonton film mereka. Keinginan mereka ya hanya satu, UANG!. Ini apa yang saya bilang pembodohan, masih belum lancar bahasa dan logat Indonesia, tapi sudah berani mengacal-acak perfilman. Kalau kata saya, tidak perlulah mereka bersusah payah, jadi pengemis saja di Bollywood.
Kenapa saya menyalahkan si India ini sebagai produser, lihatlah film-film yang didanainya, adakah yang menyangkut di hati Anda? Kalau tidak horor, pasti cinta romantis lebay, anak gaul, atau film bokep semi. Bandingkan dengan film-film besutan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnain, semua menceritakan kehidupan orang-orang di suku pedalaman yang tidak terjamah, bahkan oleh pengetahuan kita, padahal mereka satu, Indonesia.
Lalu, apa alasan lain? Ya saya menyalahkan si India ini karena sulit untuk mendanai film bertema pendidikan, atau setidaknya ada yang mendidik dari film ini. Hal ini saya ketahui dari curhatan seorang penulis naskah yang juga alumni tempat saya kuliah sekarang. Menurutnya, para India ini hanya cari keuntungan dan tidak memerdulikan ketika ada film seperti ini masuk.
Ah, beginilah negeriku tercinta, Indonesia, kita kaya, namun rugi, karena diperkosa asing.
0 komentar