EKSISTENSI DALAM PERIODE STAGNANSI
21:42Wajah Om Tito pun terlihat pasrah. Ia hanya bisa mendekap jari jemarinya karena badannya sudah terikat di sebuah pohon. Kakinya berusaha menggapai tanah agar ia bisa berdiri tegak. Namun, terlambat. Serbuan mahasiswa Jurnalistik 2009 mengalahkannya. Gurat ketegangan terlihat jelas dalam wajahnya yang pucat. Sekejap saja, baju dan celananya terlihat semakin hitam. Bukan karena ia membeli celana dan baju baru, tapi karena guyuran air dan sesajen tumpah ruah dari kepala hingga ujung sepatunya. Entah mimpi apa ia semalam sehingga mendapatkan hadiah yang begitu menyenangkan dari adik-adik barunya ini.
Siang itu menjadi hari ke dua ketika mahasiswa berjaket biru berbasah-basah ria di plasa Fikom. Hari rabu yang mendung itu tidak terikat lagi dengan kesuraman yang biasanya di pancarkan setelah mengikuti kuliah di hari itu. Semuanya tersenyum gembira seolah menunjukan bahwa Fikom itu berwarna biru.
Keceriaan kami dalam acara selebrasi mahasiswa Jurnalistik itu sangatlah nyata. Guyuran air hujan tidak menghentikan kesenangan ini. Ditambah air dalam jumlah besar dalam ember mewarnai perayaan ini. Kami gembira dan saya begitu terpesona. Mahasiswa Fikom lain umumnya tidak berani melintasi plasa. Sejumlah mahasiswa berjaket merah hanya merapat di samping, melihat kami yang ceria.
Pikiran saya lalu mengawang-awang setinggi langit mengingat ketika saya masih mengikuti rangkaian Orientasi Jurnalistik (OJ) di plasa Fikom. Ketika itu saya dan beberapa teman lain mewawancarai Mas Agung bertanya mengenai Himpunan Mahasiswa Jurnalistikt (HMJ). Beberapa dari kami mempertanyakan eksistensi HMJ di mata Himpunan Mahasiswa (Hima) lainnya di Fikom yang menyatakan bahwa HMJ tidak eksis.
Dengan menghela nafas dan membetulkan kacamatanya, mas Agung mengatakan bahwa HMJ ingin membenahi dulu intern mereka (dulu saya menyebutnya mereka), dan berpesan jika kami menjadi anggota HMJ semoga bisa lebih maju dari apa yang telah dicapai HMJ saat itu. Lalu, saya berjanji dalam hati, “tentu kami akan lebih baik dari yang telah ada,” tenyata kini saya masih mencoba mengulang janji tersebut. Sulit rasanya, ternyata tugas kuliah memang menghambat dalam berorgansasi.
Akhirnya saya tersadarkan, eksistensi kami dengan menguasai plasa Fikom beberapa hari yang lalu itu, menyisakan sebuah problematika besar. Kami hanya bertahan dalam sebuah status quo yang sulit untuk dirubah. Apakah ada yang akan merubahnya? Waktulah yang kan bicara.
0 komentar