MONOREL BUKAN MIMPI !

14:49

Ini adalah tugas Orientasi Jurnalistik terakhir. Sekaligus menjadi paper untuk lomba di Kompas. Saya tau tulisan macam ini tidak layak untuk dimuat di kompas, sehingga saya tampilkan disini

Tema: Berandai-andai Kota Bandung Tanpa Macet

Angkutan Transportasi Massal: Sebuah Solusi
Oleh: Frasetya Vady Aditya

Penumpang menunggu bus ber-AC itu dari sebuah shelter, sementara yang lainnya duduk-duduk di foodcourt yang berada di area shelter. Tidak berselang lama, bus yang ditunggu-tunggu itu datang seiring dengan berhentinya hujan deras yang turun sejak siang hari. Penumpangnya mulai dari anak sekolah, pekerja pabrik hingga para eksekutif muda yang masih terlihat menggunakan jas. Semuanya berbaur di dalam ruangan besar yang luas dan nyaman. Bus pun melenggang dari shelter. Bus berjalan berdampingan dengan sepeda-sepeda yang dikayuh para pekerja di jalur khusus sepeda. Sesekali, monorel melintas di rel yang tingginya lima meter dari tanah. Tidak terdengar suara klakson maupun celetukan dari balik jendela kendaraan, semuanya tersenyum dan saling menyapa.
Suara klakson itu mengaggetkan, ternyata itu hanya sebuah lamunan ketika menunggu macet di seputar Jalan Soekarno Hatta. Setiap harinya, jalan ini selalu dipenuhi oleh kendaraan bermotor dari dua arah. Setiap paginya, kemacetan selalu menerjang setiap persimpangan jalan. Setiap tahun, jalan ini tidak pernah selesai “ditingkatkan” (diperbaiki).
Kendaraan berhenti karena seratus meter di depan terdapat pabrik. Motor dan mobil saling bersaing untuk menjadi terdepan. Tidak jarang, sepeda kayuh tersenggol motor yang ngotot. Kemacetan itu terus berlangsung hingga dua jam kemudian hanya karena para pekerja pabrik yang menyebrang jalan sesuka mereka.
Kendaraan diarahkan menuju jalan Braga, daerah yang menjadi tempat dengan bangunan-bangunan eksotis ala Belanda. Namun, seorang pengendara motor hampir saja terjatuh karena terpeleset ketika ban depannya masuk kedalam jalan granit yang berlubang. Di beberapa ruas jalan lain, kendaraan pribadi harus berbagi dengan angkot yang menunggu penumpang seenaknya.
Kendaraan umum seperti angkot dan bus Damri, bukannya memecah kemacetan, namun menjadi sumber kemacetan utama di kota Bandung. Bahkan, Trans Metro Bandung yang merupakan bantuan dari Kementrian Perhubungan (Departemen pada saat itu), hanya memiliki satu trayek dengan jumlah bus dan shelter yang minim.
Shelter-shelter bus di Kota Bandung kini berubah menjadi tempat berkumpulnya berandalan bermotor dengan coretan-coretan yang menandakan eksistensi mereka. Tidak seperti dalam serial Tv Mr. Bean yang berlokasi di Inggris, dengan sistem pembayaran melalui kartu yang digesekan setiap kali naik kedalam bus. Penumpang hanya diperbolehkan turun di shelter, tidak seperti angkutan-angkutan lainnya di Bandung.
Transportasi massal memang dibutuhkan oleh masyarakat Kota Bandung yang merindukan terbebas dari kemacetan. Selain itu, kesemrawutan yang diciptakan angkutan umum kini, membuat masyarakat semakin malas untuk sekedar jalan-jalan ke “kota.” Transportasi massal yang ada sekarang bukanlah yang diharapkan masyarakat Kota Bandung.
Seharusnya, program pemerintah membuat transportasi massal juga dengan pengurangan atau penghapusan angkutan kota yang sudah melebihi kapasitas jalan di Kota Bandung. Tidak seperti sekarang, projek Trans Metro Bandung berjalan namun untuk naik ke bus saja begitu sulit karena bus yang ditunggu tak kunjung datang disebabkan terjebak kemacetan.
Rencana pembangunan monorail pun sepertinya hanya sekedar wacana dan bukan untuk memecah kemacetan. Proyek ambisius ini tidak melewati daerah-daerah “penting” seperti pusat perkantoran dan pabrik yang memiliki jumlah pekerja yang besar. Proyek ini hanya melewati kawasan dago yang sebenarnya adalah daerah wisata, sehingga bisa ditebak, rencana ini sepenuhnya menjadi proyek komersial semata.
Saya membayangkan transportasi massal yang ada di Kota Bandung tidak seperti di Jakarta yang malah menambah kemacetan dan tidak membuat penumpang nyaman. Transportasi massal di Kota Bandung itu berjalan beriringan dengan jalur sepeda yang ada di sebelah kiri jalan dengan jalur pejalan kaki yang ada di jalur teduh di bawah pohon-pohon besar. Sementara itu, monorel berkelak-kelok membelah langit Kota Bandung.
Di setiap sudut jalan, tidak ditemui lagi masyarakat yang masih menggunakan kendaraan pribadi kecuali sepeda dan para pejabat pemerintahan yang arogan. Tidak ada lagi sahutan-sahutan kasar dari pengemudi kepada pengemudi lainnya karena menghalangi jalan. Di beberapa lokasi, masyarakat juga bisa menunggang kuda sebagai alat transportasi. Juga, terlihat sekelompok remaja yang menggunakan skateboard yang meluncur di jalanan yang mulus.
Semoga ini bukan hanya angan kosong belaka. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan yang tertinggi seharusnya bukan hanya menerapkan program, tetapi mengaplikasikannya secara sungguh-sungguh. Tidak hanya mengurusi kepentingan pribadi, tapi untuk kepentingan bersama. Mari ciptakan Kota Bandung tanpa macet dan dukung program angkutan massal.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts