Mengatur Cybersex dengan UU ITE

18:47

Perkembangan teknologi yang kian pesat, membuat internet muncul sebagai fenomena terbesar di akhir dekade ini. Diiringi oleh semakin terangnya pesona jejaring sosial, internet menjelma menjadi pisau bermata dua, begitu membantu dalam berbagai hal, namun, terkadang menjadi bumerang yang mematikan.
Cyber-sex, Cyber-crime, Cyber-trafficking, telah menjadi istilah tersendiri setelah kehadiran internet. Istilah-istilah ini kian mudah ditemui di media cetak maupun elektronik, bahkan tak jarang menjadi berita utama yang menggemparkan.
Beberapa istilah tadi, membuat pemerintah sebagai pemegang kebijakan yang mengeluarkan Undang-undang Infomasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk setidaknya menjadikan media internet sebagai bukti untuk menjerat orang yang menyalahgunakannya.
“Sudah cukuplah (isi UU ITE) untuk permulaan, tapi lebih baik ada pemisahan,” ujar Budi Rahardjo. Isi dari UU ITE memang tidak mengatur penggunaan internet secara keseluruhan, namun, hanya membatasi transaksi-transaksi yang dilakukan. Maksud pembatasan yang dilakukan Budi yaitu pemisahan setiap kategori, seperti, pornografi, dan cybercrime.
Budi, Ahli Security Computer yang juga Dosen Elektro ITB menegaskan bahwa sesuatu yang ilegal di dunia nyata, berarti ilegal juga di dunia maya.  “Kalau prostitusi itu ilegal di dunia nyata, di dunia maya pun demikian,” sebutnya, “tapi saya tidak tahu bagaimana dengan peraturan di Indonesia.”
Di Amerika, menurutnya, seseorang legal untuk masuk ke laman web dan mengunggah video porno asal tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. “Bebas kalau mengunggah, asalkan bukan child-sex, disana anak-anak dilindungi negara,” katanya. Hal ini tentu berbeda dengan peraturan yang ada di Indonesia dimana pengunggah video porno dapat dijatuhi hukuman penjara, seperti yang terjadi pada kasus Nazril “Ariel” Ilham.
Jual beli di internet terutama yang ilegal dapat dijerat oleh undang-undang lain selain UU ITE. Senjata misalnya, bisa saja seseorang membeli senjata ilegal di internet dan dijerat oleh UU Terorisme. Lalu, apa gunanya UU ITE?
“UU ITE sebagai undang-undang yang menjadikan bukti ketika seseorang melanggar peraturan di dunia nyata,” jawab Budi. Menurut Budi, segala sesuatu yang ada hubungannya dengan transaksi berarti sudah sah di UU ITE, “meskipun transasi tersebut tidak menggunakan uang,” tutupnya.

***

Semakin pesatnya pengguna internet, membuat para pencari nafkah kebanjiran rejeki. Internet mempermudah mereka dalam melakukan usaha. Tapi, disadari atau tidak banyak yang menggunakan internet sebagai media menjual barang-barang ilegal. Mulai dari narkoba, senjata api, bahkan manusia.
Kini, dunia internet mulai dijejali penuhnya pengguna yang memiliki akun di jejaring sosial semacam Facebook, Twitter, dan lainnya. Beragam keuntungan didapat dari kepemilikan akun ini. Seperti bertemu teman lama, silaturahmi, hingga menjual barang.
Kini, sudah lazim rasanya ketika facebook dijadikan etalase atau katalog orang oleh sebagian pengguna. Seringkali para pedagang ini menandai “fans” mereka dengan barang dagangannya. Di dalamnya sudah lengkap dengan spesifikasi, harga, nomor kontak, hingga ketentuan negosiasi.
Karena jaman yang semakin maju, ditambah dengan moral yang kian hari semakin lapur, Facebook juga dimanfaatkan oleh sekelompok (banyak) orang untuk memudahkan ketika mengunjungi tempat-tempat prostitusi. Salah satunya adalah akun “Saritem Bandung”. Bagi orang yang belum pernah ke tempat ini, pasti tidak akan mengira kalau gang dengan gapura bertuliskan “Pesantren” itu dulunya adalah sebuah tempat lokalisasi.
Di akun tersebut dipaparkan dengan jelas dimana lokasi, kepada siapa ia harus bertanya, naik angkutan apa, bagaimana rutenya, hingga tarif pun disesuaikan. Tentu, bagi para pria hidung belang, informasi ini begitu membantu mereka.
Seseorang—sebut saja—Feris (19) yang diyakini sebagai wanita tunasusila (WTS) dan sering “mangkal” di Stasion KA Bandung,  juga menyediakan layanannya lewat Facebook. Hal ini diungkapkan–sebut saja-Dika (21) yang memiliki teman yang “berjualan” melalui Facebook. Setelah ditelusuri, ternyata akun tersebut memang menggunakan nama “nakal”, untuk lebih mudah menarik perhatian.
Akun ini diyakini hanya menyimpan foto-foto Feris dan informasi temannya yang lain. Ciri-ciri dari akun ini adalah ia tidak menggunakan Facebook sebagai sarana komunikasi. Jumlah temannya pun kurang dari tiga puluh yang kebanyakan teman-teman perempuan dari Feris. Kejanggalan yang terlihat, Feris seperti tidak aktif di Facebook namun seringkali memiliki notifikasi pertemanan dengan orang lain. Artinya, ia masih sempat mengonfirmasi orang-orang yang meminta pertemanan dengan dirinya, padahal ia tidak aktif menggunakan akunnya tersebut.
Teman-teman perempuan Feris pun hampir sama, mereka tidak memiliki teman di atas 30 orang. Entah karena baru membuat akun atau memang demikian. Asal sekolah pun kebanyakan sama, bahkan tempat kuliah mereka sama, dengan menyantumkan Universitas terkemuka yang menggunakan nama agama.

***

UU ITE di Indonesia secara gamblang melarang seseorang untuk mendistribusikan atau mentransmisikan dokumen elektronik yang memiliki muatan kesusilaan, hal ini tertulis pada pasal 27 mengenai “Perbuatan yang Dilarang”. Di pasal ini juga, seseorang dilarang mendistribusikan atau mentransmisikan yang memiliki muatan perjudian, penghinaan, dan pemerasan, meski dilakukan tanpa sengaja.
Oleh karena itu, penyebar video porno akan dapat dijerat oleh pasal 27 UU ITE. Begitu pula dengan konten-konten yang memiliki muatan kesusilaan seperti gambar, kata-kata, akan dijerat pula oleh UU ITE, meski tidak digambarkan sejauh mana kesusilaan itu dilanggar.
Karena setiap yang ditransaksikan dapat menjadi bukti, Budi malah menyayangkan apa yang terjadi saat ini. “Seperti, saya hari ini menjual senjata api ke siapa, kemarin saya jual perempuan ke siapa,” kata Budi “Mereka akan dijerat oleh UU Terorisme dan UU ITE sebagai buktinya, tapi saya belum tahu, apakah trafficking ada UU yang menjeratnya?”.
Trafficking yang dimaksud Budi bisa juga penjuala perempuan oleh gremo-gremo lewat facebook. Karena kebanyakan perempuan ini tidak menjual diri sendirian tapi lebih diorganisir oleh gremo-gremo yang memiliki jaringan yang kuat dan tentu saja berbanding dengan keuntungan yang lebih besar.
Tulisan-tulisan di dinding ataupun melalui komentar di Facebook yang mengandung unsur SARA dapat dijerat pula oleh UU ITE, begitu pula dengan kicauan-kicauan di twitter. Namun, tidak begitu saja dapat dijerat, harus ada orang yang melapor karena UU ini masuk ke hukum perdata.
Mengapa tidak dijadikan pidana dan diurus oleh pemerintah?. Ini dikarenakan sistem kerja internet yang seperti telepon, tidak bisa dibatasi dan penggunanya bebas melakukan apapun. Untuk melacak telepon biasanya lebih mudah, tapi untuk internet yang bergerak akan sangat sulit. “Pemerintah sepertinya berat untuk melacak satu orang dengan biaya mencapai 20 miliar rupiah,” ujar Budi.

***

Bagaimana agar kita menggunakan internet yang sehat?. Budi menjelaskan bahwa apa yang dilakukan di dunia maya berlaku juga di dunia nyata. Dunia nyata banyak media yang menawarkan gambar-gambar jorok, cerita stensil. Begitupula di dunia maya, “Internet sehari-hari itu sama dengan hidup kita yang sehat”.
Hal serupa diungkapkan Onno W. Purbo, pakar internet yang juga dosen ITB. Ia mengungkapkan bahwa internet itu bagaikan pisau, bisa dipakai yang baik maupun yang buruk. “Tergantung manusia yang menggunakannya,” ucapnya.
Onno menyarankan sebagai pengguna internet untuk menggunakan internet secara sehat. Ia pun merujuk situs internetsehat.org sebagai acuan dalam menggunakan internet yang baik.
Internet memang bagaikan dua sisi koin, akan ada kebaikan dan keburukan, namun, bukan tidak mungkin, kita sebagai pengguna lebih banyak menampilkan sisi baik dari internet tersebut. Jangan pernah internet menjadikan Anda sebagai “orang sakit”.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts