Perang Belerang di Awal Syawal

07:26


Kedua turis itu mencelupkan tubuh mereka ke dalam kolam yang berbau belerang. Masih dengan topi dan masker yang masih terpasang, keduanya tak memedulikan tatapan aneh pengunjung lain.
Petugas sedang memberikan tiket
54 derajat panas airnya,” ujar Kiki (29), pengelola Savana Batu Kancah, sambil memperlihatkan surat pemberitahuan dari Dinas Kesehatan Provinsi Banten. “Libur idul fitri memang awal yang baik untuk menunjukan kalau Provinsi Banten memiliki potensi wisata yang besar,” lanjutnya.
Cuaca panas di kampung Cipanas, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, tidak menghalangi ratusan pengunjung untuk berwisata air panas. Umumnya, mereka datang dengan bergerombol, dengan menggunakan sepeda motor, mobil pribadi, mobil pick-up, hingga “truk sapi”. Mereka datang dari berbagai daerah seperti Rangkasbitung, Tangerang, Bogor, dan Jakarta. Padahal, untuk menuju tempat ini, mereka harus melalui jalan provinsi yang rusak dan berlubang.
Mau main saja sama keluarga,” kata Heri sambil memakan mie instan. “Lumayan jauh, sekitar 3 jam dari rumah di Balaraja (Tangerang)”. Lalu apa yang membuat mereka begitu bersemangat untuk mandi air panas di tengah terik matahari yang tak kalah panas? “Momen yang pas buat kumpul keluarga,” ujar Widya, pengunjung asal Cibubur.
Savana Batu Kancah (SBK) hanyalah satu dari dua pemandian air panas alam di Kampung Cipanas. Pemandian lainnya bernama Tirta Lebak Buana (TLB), yang hanya berjaral 30 meter dari SBK. Bedanya, TLB merupakan milik Pemerintah Provinsi Banten, sedangkan SBK milik swasta. Keduanya menyuguhkan pula pemandangan alam yang menakjubakan, seperti bukit dengan batuan cadas sebagai fondasinya.
Pengunjung pemandian air panas ini semakin tertarik dengan embel-embel beragam khasiat yang dimiliki belerang. Contohnya saja untuk menyembuhkan penyakit kulit, hingga paru-paru basah. Perbedaan yang terlihat, pengunjung TLB umumnya hanya berendam beberapa menit, lalu naik. Sedangkan SBK, pengunjung lebih aktif di dalam kolam seperti berenang, karena suhu air yang tak lebih panas dari TLB.
Penarik pengunjung
Berdasarkan pengalaman, libur idul fitri biasanya menjadi puncak lonjakan pengunjung di kedua pemandian ini. Kiki menuturkan, belum ada perhatian dari Pemerintah Provinsi Banten, padahal dua pemandian ini, menyedot perhatian banyak pengunjung lokal dan wisatawan mancanegara. “Kata mereka (Pemprov Banten) sih, mulai tahun depan akan ada dana untuk pengembangan wisata, semoga saja.”
***
Air panas, air panas,” ujar Billy (30) sambil mengarahkan tangannya ke arah tempat parkir SBK. Kulitnya bermandikan keringat, topi coklatnya yang lusuh, tetap tak mampu menahan kejamnya sengatan sinar matahari. “Benar-benar panas dek” keluhnya, sesekali ia meneguk minuman dingin, lalu duduk untuk mengelap tubuhnya yang bermandikan keringat.
Billy adalah koordinator “penarik penunjung,” sebut saja begitu. “Penarik pengunjung” bekerja di tengah jalan untuk menginformasikan sekaligus menarik pengunjung agar masuk ke pemandian air panas. Peran mereka begitu penting bagi SBK. Kiki menjelaskan, karena SBK baru beroperasi selama dua tahun, maka, banyak calon pengunjung yang belum mengetahui lokasi wisata ini, dan lebih memilih ke TLB. “Sah-sah saja kan, kita hanya menunjukan lokasi, kalau mereka (calon pengunjung) tidak mau, ya tak masalah,” ujarnya.
Baik SBK maupun TLB memiliki “Penarik Pengunjung”nya masing-masing. Tarik menarik pengunjung pun terjadi diantara dua pemandian ini. Gesekan mulai dari “penarik pengunjung” hingga pihak pengelola yang saling membesarkan volume pengeras suara, bahkan tak jarang, beragam kabar tak sedap pun dihembuskan.
Masyarakat di sini belum siap menerima sesuatu yang baru,” kata Kiki “Isu-isu negatif sering kami terima, seperti air yang kotor, ada yang meninggal, misalnya. Ya, kami tanggapi dengan mengedepankan kualitas pelayanan saja lah. Area parkir kami lebih luas, harga kami lebih murah, akses ke kami pun lebih mudah”.
Meski kedua pengelola pemandian ini masih memiliki ikatan darah, tapi perang dingin tengah berkobar diantara keduanya. Euis Rahmat (69), pemilik SBK berdalih bahwa ia tidak bermaksud untuk menyaingi TLB, “Suami saya pensiunan, sedangkan sumber daya yang saya miliki hanya air panas. Kalau tidak dikomersilkan, saya makan apa?”.
***
Lampu penerangan jalan mulai menyala. Segerombol remaja menyisir rapi rambutnya, lalu menaiki “truk sapi”. Diantara mereka masih menggemakan takbir, meski kalender telah menunjukan tanggal 2 Syawal. Supir “truk sapi” menyalakan kendaraannya, mesin mulai meraung dengan gagah. Tanah tempat berpijakmya ban, mulai terkoyak, seiring dengan jejak-jejak yang memanjang, menuju jalan raya, meninggalkan kampung Cipanas.
Awal syawal yang menakjubkan, pengunjung membludak melebihi perkiraan pengelola. Lembaran-lembaran rupiah turut mengisi dompet warga sekitar yang berjualan mie instan, buah-buahan, hingga para remaja tanggung yang menjadi tukang parkir. Semuanya terlihat indah, seiring dengan momentum untuk saling bermaafan. Meski perang masih dingin, namun, bau belerang itu menghangatkan.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts