Apresiasi Tiga Buku

22:57

Frasetya Vady Aditya

210110090216


I. Rangkuman

1.1. Ashadi Siregar “Bagaimana Meliput dan Menuis Berita untuk Media Massa” (Halaman 43-51)

Fakta harus dicari dan dikumpulkan lewat berbagai cara, dilihat hubungannya satu sama lain dalam suatu peristiwa. Berdasarkan fakta itulah kemudian berita ditulis. Wartawan mencari atau mengumpulkan fakta lewat pengamatan (observasi), wawancara, atau melakukan riset dokumentasi. Berita yang baik hanya dapat ditulis apablia didukung oleh fakta yang lengkap dan akurat.

Observasi dipakai jika wartawan secara langsung menghadapi kejadian. Artinya, wartawan berada secara fisik di tempat kejadian, dan dengan tangkapan indrawinya, wartawan mencatat kesan tentang kejadian itu. Dengan demikian, fakta yang diperoleh dirasakan dan diamati sendiri oleh wartawan.

Melakukan observasi sebenarnya sama dengan “memotret” fakta dengan alat potret yang ada pada diri seorang wartawan. Bedanya hasil potret ini diuraikan dengan kata-kata. Kesan seorang wartawan tidak boleh dipengaruhi khayal, keinginan atau harapan wartawan tersebut. Kesan harus benar-benar mewakili fakta yang terjadi.

Pendeskripsian melalui tangkapan indrawi ini dapat menghindarkan wartawan dari penggunaan kata-kata bombas, atau sensasional.

Wartawan peru menguasai perbendaharaan kata yang lengkap agar dapat menguraikan fakta yang dihadapinya. Kesuitan mendeskripsikan fakta melalui indra ini muncul jika berkaitan dengan kesan yang sifatnya kuantitatif. Biasanya terjadi pada pengindraan, pembauan, pengecapan dan perabaan. Yang bisa dilakukan adalah melakukan perbandingan dengan sesuatu hal yang umum ada di masyarakat.

Wawancara berarti bertanya kepada orang lain untuk memperoleh fakta atau latar belakang suatu masalah. Kemampuan indra pendengaran mutlak diperlukan. Wartawan perlu mengetahui cara bertanya yang tepat, agar orang ain mau memberikan keterangan yang diperlukan. Secara garis besar, wartawan akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh bahan berita yang berkaitan dengan kesan indrawi orang lain, atribut seseorang, pendapat atau harapan seseorang.

Wartawan harus meminta keterangan orang lain yang menyaksikan atau mengalami sendiri suatu kejadian. Orang itulah yang menjadi sumber informasi bagi wartawan. Dengan demikian, wartawan sesungguhnya melakukan observasi dengan jalan meminjam indra orang lain yang diwawancara. Kesuitannya, orang yang diwawancara beum tentu teliti dalam mengingat fakta yang dihadapinya. Wartawan perlu sabar mengorek ingatan sumber informasi, bahkan kalau perlu mengajukan pertanyaan silang atau berulang-ulang.

Wartawan harus bertanya secara tak langsung. Atribut-atribut pribadi ini diperlukan dalam melengkapi fakta yang berkaitan dengan siapa dalam berita. Wawancara secara tidak langsung perlu diimbangi dengan menghubungi beberapa sumber untuk menghindari kesalahan informasi. Atribut yang diperoleh selalu perlu dicek ulang, dengan bertanya kepada pihak yang dapat memberi fakta yang akurat.

Pendapat, harapan, cita-cita atau aspirasi seseorang jelas berada dalam alam pikiran orang tersebut. Kesulitan yang dihadapi adalah sifat orang indonesia yang kurang ekspresif untuk pendapat dan aspirasi. Untuk itu, wartawan perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memutar, sehingga terwawancara tidak perlu merumuskan pendapatnya. Lewat cara-cara rendah hati, tidak bergaya interogasi, biasanya terwawancara mau memberikan informasi. Untuk itu, perlu mengena secara mendalam sebelum menulis tentang orang tersebut. Sikap menempatkan diri pada posisi orang yang sedang dijadikan sumber berita dapat membantu kita dalam melakukan wawancara.

Riset dokumentasi dilakukan sebagai upaya memperoleh fakta yang berasal dari dokumentasi tertulis. Fakta yang dimaksud bisa berupa angka yang tertuang dalam tabel, bisa berupa bagan, atau wacana yang tersimpan sebagai dokumen yang diarsip. Sering kali, data yang dibutuhkan menggambarkan suatu keadaan beberapa tahun sebelumnya yang dikaitkan dengan keadaan sekarang.

Data tertulis juga diperlukan untuk mencek kebenaran dan akurasi fakta. Kecenderungan menggunakan data untuk mendukung fakta semakin berkembang. Pertimbangannya, tidak setiap masalah dapat dijelaskan dengan baik kalau hanya lewat kata-kata. Visualisasi dipandang mempermudah pembaca menyerap makna informasi. Kecenderungan ini berkembang pada precision journalism. Fakta yang diperoleh didukung oleh data yang terukur. Karena itu, konsep penelitian banyak dijadikan rujukan untuk memperoleh data terukur sehingga fakta yang diperoleh menjadi lebih kuat.

1.2. Nur Zain Hae “10 Pelajaran untuk Wartawan” (Halaman 161-192)

Wawancara adalah bentuk percakapan dengan tujuan tertentu. Tujuan suatu wawancara bisa dimaksudkan untuk menggali informasi, opini, atau bukti tentang pemikiran seseorang. Narasumber juga punya tujuan, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan

· Narasumber mungkin merasa bingung atau takut untuk mengemukakan pendapat

· Mereka mungkin khawatir menyatkan opini sesungguhnya

· Narasumber bisa saja berbohong

· Merasa terintimidasi oleh kehadiran wartawan

· Narasumber mungkin merasa tersanjung oleh kepentingan wartawan.

· Mereka mungkin lupa atau menyembunyikan rincian penting

· Mereka cuma bisa berbahasa asing

· Kepribadian dan bias seorang reporter.

Wartawan harus siap saat mewawancarai pejabat, karena biasanya wawancara dilakukan dengan berdiri atau sambil berjaan. Meskipun sudah memiiki gagasan yang cukup jelas, tetapi masih membutuhkan informasi tambahan atau kutipan untuk mendukung gagasan tersebut.

Kecepatan adalah inti kegiatan jurnalisme. Pesawat telepon adalah cara paling mudah dan cepat untuk menghubungi narasumber. Oleh karena itu, wartawan harus bisa mengembangkan kemampuan penggunaan teepon. Meskipun demikian, industri media barat lebih menyukai budaya jurnalisme telepon karena dianggap irit. Kapanpun wartawan memiiki kesempatan untuk bertatap muka dengan narasumber, lakukanah dengan segera. Jika ingin mengembangkan hubungan mendalam dengan narasumber, maka temuilah mereka.

Wawancara melaui telepon cenderung menjadi lebih singkat dibandingkan dengan tatap muka langsung. Hubungan antara wartawan dengan narasumber pun menjadi dangkal dan impesonal. Semua isi pembicaraan mengandung makna yang harus dicatat atau ditanggapi segera oleh wartawan.

Kesulitan berhubungan dengan narasumber adaah hal lumrah bagi setiap orang yang baru terjun dalam bidang jurnalisme. Berhubungan dengan PR jelas penting bagi wartawan. Pekerja humas bisa menjadi sumber informasi latar belakang yang penting dan terkadang bagus untuk dikutip.

Jika meakukan wawancara langsung, usahakan tampil sopan, tenang dan berbicara efisien. Yang penting, berbicara langsung pada permasalahan. Dalam beberapa kasus, seseorang bisa diwawancarai oleh sekelompok wartawan. Pada situasi ini, sangat baik jika menjelaskan informasi khusus yang ingin didapatkan dari si sumber berita.

Ada beberapa tempat yang baik untuk lokasi wawancara

· Wiayah anda. Kantor pers dimana wartawan bernaung

· Wiayah mereka. Rumah narasumber contohnya

· Wiayah netral.

Biasanya politikus dan selebriti ingin melihat daftar pertanyaan terebih dahulu sebelum diwawancarai. Ini praktik yang harus ditentang. Tetapi bukan berarti harus selalu menolak persyaratan itu. Mengingat inti kegiatan jurnaistik adaah kecepatan, ada kemungkinan narasumber khawatir kalau ada informasi penting yang terlewatkan sehingga mereka meriset terlebih dahulu.

Persiapan merupakan hal penting dalam wawancara. Jika memiiki informasi yang cukup, wawancara akan berjaan menarik dan wartawan akan mendapatkan hal yang baru. Reporter yang miskin informasi akan menjadi bulan-bulanan narasumber karena mereka bisa berbohong dan menjebak.

Wawancara terkadang sulit ditebak arahnya. Akibatnya, sulit untuk berpegang pada rancangan sebelumnya. Kendati jurnalisme bersifat individualistis, tetap saja akan berhasil jika dikerjakan secara kolektif. Tanpa catatan dan rekaman, wartawan hanya memiliki sedikit pembelaan dipengadian.

Pertanyaan yang tidak terlalu mengancam saat memulai pembicaraan dapat dilakukan untuk memancing pendapat dan informasi dasar. Tetapi dalam praktiknya, para wartawan mempunyai tanggapan yang beragam terhadap dinamika wawancara. Rumuskan pertanyaan khusus guna menghindari jawaban “ya” dan “tidak”.

Wartawan dapat mengambil peran sebagai pendengar aktif saat terwawancara adalah orang yang glia publisitas. Tidak banyak bicara, menyimak serius, kaau perlu memotong pembicaraan. Peran wartawan adalah menyimak dengan cerdas dan menjaga percakapan agar tetap jernih dan terfokus pada pertanyaan-pertanyaannya.

Wartawan sebaiknya luwes dan santai. Tapi seorang wartawan tidak boleh mengabaikan tujuan wawancara. Karena itu, tujuan wawancara harus jelas betul. Wartawan menunjukan ketepatan memiih sudut pandang jika ia dapat berkonsentrasi pada pertanyaan kunci dan mendapat banyak tanggapan.

Posisi media massa yang menjadi jembatan antara penguasa dan pubik menyebabkan media massa mudah dimanfaatkan penguasa untuk menyebarkan pengaruh, mengumpulkan massa, mempengaruhi atau mengarahkan opini pubik, menyampaikan pandangan mereka, melakukan disinformasi, atau menyebarkan propaganda. Wartawan harus menyadari dinamika wawancara sedalam mungkin serta berupaya agar tetap mengontrol dan menentukan alur wawancara.

Wartawan harus bersikap simpatik dan langsung masuk ke permasaahan. Wartawan harus tetap menunjukan sikap bersahabat. Steno merupakan teknik terbaik ketika wartawan dihadapkan pada kondisi tanpa alat rekam.

Untuk membuat catatan dari sumber tertuis harusah mencantumkan judul buku dan artikel, nama lengkap pengarang, penerbit, tahun, dan tempat terbitan. Buatah perbedaan yang jelas antara kutipan langsung dari suatu karya dan saduran. Mencantumkan kata-kata orang lain tanpa mencantumkan nama mereka akan dituduh sebagai plagiat.

Tidak ada bukti yang terbaik kecuai alat perekam. Sebaiknya selalu memberitahukan narasumber apabia menggunakan perekam. Jangan pernah mengandakan sepenuhnya pada alat rekam, karena faktor-faktor non teknis bisa saja mengganggu. Oleh karena itu, biasakan membuat catatan pelengkap.

Biasanya ada kasus yang mengharuskan menyunting ucapan seseorang yang tata bahasanya tidak teratur. Ucapan omong kosong kadang kala penting pula dikutip sejauh diperlukan dalam sebuah tuisan. Penggunaan rekaan bisa melebih-lebihkan berita dan mendorong sensasionalisme. Berhati-hati menggunakan kalimat tidak langsung. Dalam siaran pers, kalimat tidak langsung menjadi kalimat langsung.

1.3. Septian Santana “Jurnalisme Investigasi” (Halaman 248-281)

Berbagai distorsi bisa terjadi di dalam proses penggalian fakta. Wartawan mesti menyiapkan segala bahan dan data yang berkaitan dengan topik yang hendak diliputnya. Namun, berbagai kendala memang selalu menghantui upaya wartawan untuk mendapatkan bahan yang menarik dan penting.

Apa yang dikatakan oleh sumber berita kepada seorang reporter sangat tergantung pada dua hal, yakni bagaimana reporter tersebut dipandang oleh sumber berita, dan bagaimana reporter tersebut bersikap. Sumber berita akan melepas semua keterangan yang disimpannya jika ia mendapatkan kepercayaan bahwa reporter yang dihadapinya memang layak dipercaya, mampu menerjemahkan, tidak hanya mencari sensasi, dan memiiki integritas sebagai pelayan informasi masyarakat. Semua itu bisa terihat dari tampilan sikap reporter dari awla mula mengajukan waktu untuk wawancara, sampai ketika proses wawancara berangsung. Maka, wartawan harus menjaga perilakunya agar mendapat persepsi yang baik, serta untuk mengurangi salah langkah dan membatasi distorsi.

Didalam kegiatan jurnaistik, wawancara memang merupakan salah satu kegiatan kewartawanan yang sangat penting. Menurut Roy Paul Nelson, wawancara dinilai sebagai salah satu bagian dari kerja riset jurnaistik yang menuntut kerja keras.

Bagi dunia jurnaisme investigatif, wartawan memerukan pendekatan dan penanganan yang berbeda pada setiap kasusnya. Sementara, wartawan investigatif dibebani dengan pengejaran tugas untuk mengungkap dan menggali segala keterangan, yang kerap masih diliputi kegelapan.

Setiap peaporan wawancara mesti merepresentasikan impresi-impresi dari apa yang dikemukakan narasumber, segala perkataan yang dikatakannya, dan segala pengertian yang dijelaskannya. Dalam banyak hal, investigative reporting harus menekankan keberadaan narasumber, yang hendak diwawancara, sebagai sumber informasi yang sama pentingnya pada setiap personalitasnya.

Kecerobohan yang diakukan jurnalis menurut JK Gabraith disebabkan oleh orientasi tingkat kepercayaan yang tinggi kepada perkataan para pejabat yang berwenang.

Wawancara yang dilakukan melalui telepon atau secara tertulis, biasanya menyempitkan penggalian data hanya pada jawaban-jawaban atas jawaban yang spesifik. Rancangan pertanyaan harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga memungkinkan sang responden menjelaskan jawabannya secara jelas dan utuh, tidak sepotong-potong dan baur.

Kenapa orang mau diwawancara? Ada sejumlah jawaban mereka suka dengan perhatian, mereka menyambut baik pemikirannya, kasihan kepada reporter, suka berbicara dan tidak bisa berkata “tidak”.

Bagi kalangan wartawan, kegiatan wawancara memerukan upaya khusus terhadap kondisi psikis narasumber yang hendak dimintai keterangan. Mereka harus membangun suasana wawancara yang menyenangkan kepada orang yang diwawancara. Pada intinya, narasumber yang diwawancarai mesti merasa mendapatkan suatu hal yang bermanfaat. Di balik semua panduan wawancara, tidak semua pendekatan akan sama hasinya kepada tiap orang yang akan diwawancara.

Wawancara diakukan tanpa melupakan pencarian data-data biografis dan non biografis seperti politik, hobi dan pola hidup. Jenis pertanyaan disusun secara menukik dan tajam sehingga mendorong jawaban-jawaban yang provokativ, bebas, tidak terduga tanpa selalu mencantumkan tanta tanya namun bisa memancing komentar dan jawaban.

Kode etik media massa, diantaranya memberikan beberapa jenis pengakuan yang mesti diperhatikan wartawan. Semuanya harus disepakati sebeum bahan wawancara ditulis atau disisarkan, yakni

· On the record, semua pernyataan bolehl angsung dikutip dengan menyertakan nama serta gelar orang yang membuat pernyataan tersebut. Semua komentar dianggap boleh dikutip, kecuali disepakati lain.

· On background, semua pernyataan boleh dikutip, tetapi tanpa menyebutkan nama atau gelar tertentu orang yang memberikan komentar itu.

· On deep background, apapun yang dikatakan boleh digunakan, tetapi tidak dalam suatu kutipan langsung dan tidak untuk sembarang jenis penyebutan.

· Off the record, Informasi hanya disebarkan kepada reporter dan tidak boleh dicetak atau disebarluaskan dengan cara apapun

Dunia jurnalisme mengadopsi keterangan mereka ke dalam jenis pengakuan yang mendapat perlindungan hukum, dan dinamakan affidavit. Affidavit yaitu pernyataan tertulis yang dibuat di bawah sumpah, di hadapan notaris pubik. Keterangan ini dapat dimanfaatkan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk.

Ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan wartawan dalam melaksanakan kegiatan wawancara. Pertama, adalah upaya mempersiapkan wawancara dan mengajukan pertanyaan bagus. Kedua, adaah upaya mempersiapkan wawancara dengan pengumpulan informasi yang terkait. Di dalam wawancara yang tengah berangsung, hendaknya dihindari pertanyaan yang menggunakan kata perasaan. Wartawan harus memahami apa yang dikatakan sumber berita. Wartawan harus selau menyiapkan diri untuk mengetahui pertanyaan yang secara logis akan dikatakan sumber berita. Wartawan juga harus berusaha menentukan konsistensi yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang sama dalam cara yang berbeda. Kualitas pertanyaan akan menentukan seberapa bagus berita itu dapat dibuat.

Hubungan telepon dinilai dapat memangkas waktu dibandingkan dengan tatap muka. Tapi, disisi lain, bunyi nada sibuk mengahalangi kecepatan waktu yang hendak ditempuh dalam pembuatan berita. Ketika percakapan berangsung, wartawan tidak mengetahui apakah jawaban yang terlontar berada di dalam tekanan. Feedback non-verbal tak dapat diamati wartawan.

Melalui pertemuan langsung, wartawan dapat memiiki waktu lebih banyak dan mendapatkan ranah-ranah baru pemberitaan. Waaupun, dibutuhkan biaya dan waktu yang dikorbankan lebih banyak dibandingkan telepon.

Konferensi Pers diartikan sebagai peristiwa yang direncanakan untuk kepentingan sendiri. Suasana ini membuat wartawan sulit mendapatkan, atau mengejar informasi yang berharga.

Wartawan perlu juga mempertimbangkan sifat pertanyaan. Pertama, ketika menjawab pertanyaan, seseorang umumnya sadar akan apa yang ingin didengar oleh orang yang mengajukan pertanyaan. Kedua, pertanyaan bisa diajukan dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang umum. Ketiga, pertanyaan bisa mengarahkan responden untuk membuat pilihan-pliihan yang sifatnya hipotesis dan tidak realistis.

Banyak wartawan investigatif yang mencemooh smoking gun interviews. Alasannya sederhana, mereka harus mempercayai semua narasumber harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan pandangan teoritis mereka. Wawancara seperti ini juga hanya cocok untuk keperluan di depan layar televisi. Seorang reporter investigatif harus memperhatikan dasar-dasar pengecekan, pengecekan ulang, kepada sumber-sumber mereka yang lebih daripada seorang reporter reguler.

II. Apresiasi

Saat membaca buku karangan Ashadi Siregar yang berjudu ‘Bagaimana Meliput dan Menulis untuk Media Massa’, terihat jelas bagaimana kompetensi seorang Ashadi Siregar sebagai seorang tenaga pendidik. Saya menilai Ashadi Siregar masih terlalu menerapkan bahasa novel dalam menulis sebuah buku dengan tema panduan.

Dibandingkan dengan kedua buku yang telah dirangkum, bahasa buku Ashadi Siregar memang paling mudah dimengerti. Selain itu, isi dari buku tersebut sinkron dengan jenis bukunya. Dalam mengumpulkan sebuah fakta, Ashadi menguraikan dengan lengkap dan jelas. Dalam setiap penjelasannya, Ashadi menggunakan pula contoh-contoh konkritnya. Bagaimana agar wartawan melaksanakan arahannya dengan benar. Sebuah ilustrasi juga diberikan oleh Ashadi yang akan membuat pembacanya menyunggingkan senyum saat membaca ilustrasi tersebut.

Meskipun topik tentang wawancara hanya ditulis di bagian yang kecil, namun isi dari bab ini kebanyakan menyangkut tentang awal mula pencarian fakta melalui observasi yang dilanjutkan dengan wawancara. Meskipun begitu buku ini bermanfaat meskipun tidak secara teknis menjelaskan bagaimana cara wawancara yang baik dan efektif.

Buku kedua dari Nur Zain Hae yang berjudu “10 Pelajaran untuk Wartawan”. Meskipun baru membaca sekias, buku ini terkesan menggurui pembacanya yang mungkin terselip diantara pembaca itu wartawan senior dengan pengalaman yang lebih banyak dari Nur Zain Hae. Bahasa yang digunakan pun terkesan ‘campur sari’. Terkadang menggunakan bahasa baku, dianjutkan dengan bahasa tutur dan ditambahkan dengan bahasa terjemahan ala Googe Transate yang sulit dipahami.

Beberapa contoh yang diberikan tidak lengkap bahkan membuat pembacanya bingung. Nur Zain Hae memposisikan dirinya seperti seorang guru namun berbicara dengan banyak kata ‘mungkin’. Contoh-contoh yang disajikan pun bukanlah contoh umum. Tidak seperti Ashadi Siregar yang membandingkan suara lokomotif dengan suara keramaian di pasar, Nur Zain Hae ebih banyak memberikan contoh spekuatif.

Pembahasan demi pembahasannya tidak begitu lengkap. Contohnya’ Jurnaisme telepon’ dan ‘Fobia Wawancara’. Padaha pembaca menginginkan contoh yang lebih agar ‘argumentasi’ Nur Zain Hae ini bisa diterima oleh pembaca. Beberapa poin juga disajikan dengan tidak tuntas.

Buku karangan Nur Zain Hae ini memang tidak cocok untuk wartawan senior, karena isinya yang dangkal dan terlalu menggurui. Meskipun begitu buku ini layak untuk dijadikan buku referensi bagi wartawan yang akan melakukan wawancara meskipun secara sederhana.

Buku ketiga karangan Septiawan Santana yang berjudul ‘Jurnalisme Investigasi’. Buku ini banyak mengutip dari buku-buku dan kejadian yang terjadi di luar negeri khususnya Amerika. Septiawan mungkin lupa untuk sekedar mengedit isinya dan menyesuaikan dengan tempat dimana akan diterbitkannya buku ini.

Bahasa dari buku ini terlalu banyak mengambil bahasa terjemahan. Artinya bahasa yang ada di dalam buku ini terlalu sulit untuk diartikan secara langsung. Ditambah beragam contoh yang dikutip tanpa penyesuaian terebih dahulu.

Buku ini menarik karena didalamnya terdapat beragam contoh berita yang telah di pubikasikan sebelumnya. Meskipun ada beberapa bagian yang pembaca awam akan kebingungan karena contoh tersebut tanpa pengantar. Kalau pun ada, itu hanya sedikit. Hal ini sangat disayangkan karena pembaca memang membutuhkan informasi tersebut. Sebagai contoh, gaya wartawati Oriana Falacci yang dikenal sebagai the clawing interview. Pembaca ingin mengetahui apakah clawing interview itu, dan bagaimana awal mula percakapannya kepada pemimpin Komunis Portugis, Alvaro Cunhal.

III. Simpulan

· Ketiga buku yang bertema panduan, tidak memandu secara mendalam.

· Bahasa yang digunakan dalam buku Ashadi Siregar dan Nur Zain Hae menggunakan bahasa tutur yang memusingkan pembaca.

· Bahasa yang digunakan dalam buku Septiawan Santana bergaya bahasa terjemahan yang menyulitkan materi buku meresap kedalam otak.

· Pembahasan tentang wawancara yang terlalu standar.

· Kurangnya pembahasan secara detail mengenai wawancara.

· Tidak tuntasnya pembahasan dalam sebuah bahasan pokok.

· Contoh yang disajikan dalam buku Nur Zain Hae kurang

· Contoh yang disajikan dalam buku Septiawan setelah disadur dan diterjemahkan, penyuntingannya tidak disesuaikan dengan bahasa Indonesia.

· Kurangnya jembatan penghubung dalam buku Septiawan yang menghubungkan materi dengan contoh.

IV. Pertanyaan

1. Dalam wawancara investigatif apakah perbedaan pertanyaan wartawan dengan pertanyaan penyidik polisi?

2. Bagaimana ketika wartawan menekan narasumber untuk mengeluarkan informasi, narasumber pergi begitu saja?

3. Bagaimana membuat narasumber tetap nyaman saat wartawan mengajukan pertanyaan sensitif dan sulit seperti selingkuh, misalnya?

4. Ketika keadaan hening, tidak ada yang bertanya dan tidak ada yang berbicara, apa yang sebaiknya dilakukan?

5. Apa dasar sebuah kegiatan wawancara disebut ‘wawancara yang baik’?

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts