Peradilan Indonesia Masihkah Adil?

22:59

Frasetya Vady Aditya

210110090216

Peradilan Indonesia Masihkah Adil?

Kunjungan ke pengadilan dilakukan pada rabu (13/10) siang. Saat itu suasana di pusat peradilan Jawa Barat cukup lengang. Pengadilan Negeri Kelas 1A/ Hubungan Industrial di Jalan R.E. Martadinata terlihat sibuk dengan banyaknya polisi yang berlalu lalang.

Perasaan gelisah mulai saya rasakan ketika seorang penjaga parkir menanyakan maksud kedatangan saya ke tempat itu. Ya, ini sama seperti apa yang pernah saya baca di internet, ini bukan ‘hoax’, ini sebuah realitas yang memalukan.

Pengadilan itu usang, gedungnya telah banyak yang terkelupas. Tidak terbayang, berapa banyak uang yang berputar di tempat ‘aneh’ itu, tetapi tempatnya seperti rumah sakit jiwa yang tidak terurus. Memang, banyak yang menjadi gila di tempat itu. Bukan hanya orang miskin yang tersangkut kasus pencurian, tapi orang kaya yang begitu rakus memakan uang yang bukan miliknya.

Langkah demi langkah menodai lantai bersih itu, bukan hanya noda sepatu saya saja, tapi dari bekas decitan ban di depan ruang pengadilan anak. Hanya ada satu ruangan yang saya lihat, namun beban mental sudah mulai terasa di depan sini padahal tidak ada persidangan disana.

Saya masuk tidak melalui pintu utama, melainkan lewat pintu ‘pembantu’. Pintu pertamanya terkunci dan gedungnya terlihat kosong. Sesuai dengan budaya Indonesia, pintu utama hanya di buka untuk tamu penting. Saya hanya merenung, ketika Presiden Yudhoyono melawat ke tempat ini, pengecatan dan perbaikan di sana sini akan dilakukan. Tidak lupa, membuka pintu utama pengadilan ini.

Ruang sidang yang digunakan saat itu hanya dua, ruang III dan ruang VI. Hanya di ruang III yang menyelenggarakan pengadilan. Di ruang ini ada tiga petugas kejaksaan yang sedang berbincang, entah apa yang mereka bicarakan. Wajahnya sayu dan awalnya saya mengira ia adalah tukang sapu.

Saya masuk ke ruang III ini. Di dalamnya terlihat empat deret kursi yang terbelah di tengahnya. Di dalamnya hakim begitu fasih mengucapkan mantra yang membuat tergugat tidak mengerti. Tergugat yang keturunan cina ini hanya mengangguk dan sedikit tersenyum. Hakim meminta Jaksa Penuntut Umum untuk bertanya apapun yang dia mau. Rambutnya bergelombang, dengan dasi putih ‘aneh’ yang dibuat-buat. Ternyata hakim dan jaksa menggunakan ‘kostum’ aneh yang sepertinya dan memang dibuat-buat, karena setelah akhir persidangan, sang Jaksa Penuntut Umum ini langsung melepaskan ‘kostumnya’ sambil mengibas-ngibaskan tangan tanda kegerahan.

Sidang sendiri berlangsung santai. Hanya ada dua orang yang benar-benar orang awan di persidangan itu, saya dan rekan saya dari Fikom Unpad. Dua orang lainnya adalah saksi dan wartawan yang tidak hentinya menulis. Saya membayangkan, kalau tidak ada saya, rekan saya, wartawan dan saksi itu, berarti pengadilan akan begitu sepi dan mungkin hasilnya tidak berarti. Artinya, bila tergugat melakukan ‘salam tempel’ dengan hakim di ruang persidangan, maka tidak ada yang tahu dan semua bisa diatur.

Saya terhenyak begitu nada emosi terdengar dari teriakan seorang wanita di luar ruangan sidang. Saya tidak begitu memerdulikannya, tapi hakim menoleh keluar dan bertanya kepada hakim anggota. Saya rasa ini masalah penting, karena hakim yang terhormat saja sampai berbisik kepada kepada hakim anggota yang hampir terhormat.

Persidangan ternyata hanya mempermasalahkan barang bukti, vonis akan ditentukan keesokan harinya, kamis (14/10). Pengunjung ruang sidang pun ‘berhamburan’ keluar. Di luar suasana ramai. Dua buah ‘kandang’ diletakan di antara ruang sidang III dan ruang sidang VI. Isinya orang-orang berpakaian ‘sales’ dengan rompi merah bertuliskan kejaksaan. Isi kandang pertama adalah puluhan anak muda yang sepertinya terkait masalah geng motor. Di kandang kedua tidak begitu jelas karena ramai sekali disana.

Pusat perhatiannya adalah seorang wanita berpakaian ala ibu-ibu ‘arisan’. Ia stress karena ditipu senilai 1,7 Miliar oleh rekannya sendiri yang ada di dalam kandang kedua. Sumpah serapah terucap dari wanita berpakaian merah dengan skrap polkadot dengan warna yang sama. Tedakwa yang ada di dalam kandang mencoba memberi dukungan kepada ibu itu dengan bernyanyi ‘keong racun’.

Wanita yang ada di dalam kandang itu berbincang dengan polisi, terlihat kedekatannya dengan polisi-polisi yang ia ajak bicara. Hingga akhirnya, seorang polisi bersenjata SS-1 membuka kandang dan mengeluarkan wanita muda yang menjadi tersangka kasus penipuan 19 Miliar itu. Sontak, ibu arisan langsung menghujamkan pukulan ke arah wanita muda yang dikerubuti oleh polisi. Usahanya gagal, karena polisi lebih sigap dengan berlari dan memasuki ruang sidang VI.

Saya terkejut, karena di ruang sidang sudah banyak orang yang menunggu.

Wartawan Tv adalah orang yang paling sibuk, padahal situasi biasa-biasa saja, meskipun agak sedikit tegang. Polisi yang berjaga banyak, sekitar 50 orang. Padahal, untuk mengamankan sebuah sidang, tidaklah perlu sebanyak itu, kecuali memanga ada yang membayar mereka.

Sidang hanya berlangsung kurang dari sepuluh menit karena hanya diadakan hearing. Sang terdakwa langsung digiring begitu sidang usai dan korban memerintahkan antek-anteknya untuk mengejar terdakwa. Saya hanya senyum kecut. Karena uang apapun dilakukan.

Awalnya, saya melihat anak-anak muda di kandang yang pertama memang bersalah. Saya tidak ingin tahu apa yang mereka perbuat, yang jelas mereka telah melakukan sesuatu yang salah. Namun, perasaan itu berubah ketika seseorang dari balik jeruji bertemu ibunya. Usianya seumur dengan anak SMA, masih kelas satu mungkin. Badannya kecil dengan rambut lurus dan pendek. Saya memperhatikan dari jarak tiga meter dari kandang itu.

Kandang itu berupa ruangan 3 x 3 meter dengan jendela dari jeruji besi di depannya dan sebuah pintu di sampingnya. Seseorang yang saya lihat itu mencoba memeluk ibunya, ia mengelus wajah ibunya. Tidak lama, adiknya yang masih kecil datang dalam gendongan kakaknya. Seseorang itu pun sontak memanggilnya pelan, suaranya terdengat parau, tertahan oleh tangis yang tak tertahankan. Lalu, ia mendekap ibunya dan memuntahkan tangis yang sudah di ujung pelupuk mata. Meskipun tertahan jeruji besi, namun hati mereka takan pernah terpisahkan.

Di setiap lorong saya mendengar setiap pembicaraan pegawai kejaksaan dan mereka pasti membicarakan kasus dan uang. Terdengar “Cukup bayar tiga juta ko, semua beres”. Waw, saya terkejut mendengarnya. Saya tidak menghirup bau mafia peradilan disini, karena baunya terlebih dahulu menusuk hidung.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts