Apresiasi “Wawancara (dalam Konteks Jurnalisme)”

22:59

T2/ Wawancara/ B/ 2010 Frasetya Vady Aditya

210110090216


I. Rangkuman

Naluri atau rasa ingin tahu dan memberitahukan sesuatu kepada sesamanya ini menjadi hak, yakni hak tahu dan hak memberitahukan (right to know and right to inform) dan merupakan salah satu hak asasi manusia yang diakui secara universal.

§ Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia berbunnyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.”

§ Pasal 28F UUD 1945 (yang telah diamandemen) menyatakan, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memeroleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta untuk mencari, memeroleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

§ Pasal 4 ayat 3 Undang-undang Nomor 40/1999 tentang Pers (UUP) juga menyatakan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memeroleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

§ Pasal 6 UUP berbunyi, “Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut :

a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,

b. menegakan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan HAM serta menghormati kebhinekaan,

c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar,

d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan

e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.”

Karena keterbatasan orang per orang untuk mewujudkan hak tahu dan memberitahukan dalam kehidupan sehari-hari, maka hak personal tersebut kemudian secara sosiologis didelegasikan kepada wartawan. Dengan kata lain, warga masyarakat menyerahkan sebuah mandat kepada wartawan untuk merealisasikan atau mengaktualisasikan hak tahu dan hak memberitahukannya.

Tentu kemampuan pancaindera wartawan pastilah sangat terbatas. Jangankan yang tak bisa diindera, yang disaksikan melalui pancainderanya sajapun belum tentu benar. Oleh karena itu, wartawan harus rajinbertanya kepada siapa saja yang dianggap relevan dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam rangka menjawab mandat masyarakat tadi.

Bertanya dalam konteks jurnalisme disebut wawancara. Melalui wawancara, wartawan dapat mengetahui dan memeroleh berbagai fakta atau realitas baik realitas sosiologis maupun psikologis..

Pengertian Fakta

Dunia jurnalisme adalah dunia fakta atau realitas. Ada ungkapan terkenal dalam dunia jurnalisme yang berbunyi, “fakta suci”. Fakta tak boleh dicemari imajinasi atau karangan wartawan. Dalam Kode Etik Jurnalistik 2006, pasal 2, ditegaskan bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Earl English dan Clarence membagi fakta dalam dua pengertian. Pertama, fakta adalah sesuatu yang sungguh-sungguh telah terjadi. Artinya, fakta berupa peristiwa atau kejadian nyata yang sudah/sedang terjadi. Untuk menjamin kebenaran kejadian atau peristiwa tersebut, maka wartawan harus mengecek dan/atau mengeceknya kembali sebelum fakta itu dilaporkan atau disiarkan melalui media massa. Fakta dalam artian ini kini lazim disebut realitas sosiologis.

Kedua, fakta adalah sesuatu yang sungguh-sungguh benar, kebenaran. Artinya fakta berdasarkan pernyataan dari narasumber meskipun apa yang dikatakannya itu belum tentu dan tidak akan terjadi. Dalam dunia jurnalisme fakta dalam berita tidak mesti berupa kejadian atau peristiwa tetapi dapat juga berupa pernyataan seseorang tentang suatu kecenderungan, prakiraan, harapan, situasi, kondisi, pendapat interpretasi, tanggapan, aspirasi dan lain-lain. Fakta dalam artian ini kini lazim disebut realitas psikologis.

Berita tidak mesti berisi laporan suatu peristiwa atau kejadian yang sungguh-sungguh terjadi, tetapi dapat pula berisi suatu pernyataan/pendapat yang sungguh-sungguh telah dinyatakan atau diucapkan.

Khalayak media massa tak merasa puas bila wartawan melaporkan suatu peristiwa hanya sebagaimana adanya peristiwa itu. Khalayak juga ingin mengetahui bagaimana dan mengapa itu terjadi. Khalayak juga patut tahu dan berhak diberitahu tentang pendapat/komentar para pakar/tokoh yang memiliki otoritas atau kompetensi dalam hal yang relevan atau berkaitan erat dengan peristiwa tersebut.

Tidak semua realitas sosiologis dan psikologis memiliki nilai berita yang tinggi. Tidak semua realitas yang diketahui dan diperoleh wartawan dibutuhkan oleh khalayak.

1. Penting, berpengaruh terhadap kehidupan khalayak

2. Kedekatan, dekat dengan kehidupan khalayak. Bersifat psikologis atau emosional

3. Aktualitas, kejadian/fakta yang dilaporkan baru saja terjadi

4. Ukuran, menyangkut ukuran, takaran, jarak, waktu, dan jumlah yang sangat berarti

5. Ternama, menyangkut orang-orang yang tenar.

6. Konflik, fakta tentang perkelahian, permusuhan, perselisihan, persaingan dan semacamnya.

7. Seksualitas, menyangkut hubungan laki-laki dengan perempuan, atau sejenis. Termasuk pemerkosaan, pevecehan, diskriminasi dan perjuangan emansipasi.

8. Emosi, menyentuh aspek perasaan dan naluri khalayak.

9. Luar Biasa, ganjil atau janggal.

10. Akibat, kejadian yang muncul akibat suatu kejadian/fakta tertentu.

11. Kemajuan, penemuan-penemuan baru.

12. Mukjizat, ajaib.

13. Tragedi, penderitaan lahir dan batin atau bencana.

Karena keterbatasan inderanya maka wartawan harus melakukan wawancara. Terutama bila wartawan tidak sempat menyaksikan peristiwa yang tidak direncanakan. Wartawan harus mewawancarai saksi mata, di samping sumber-sumber lain yang sangat relevan dan terkait. Terkadang untuk memeroleh reaitas psikologis atau realitas sosiologis dari narasumber tidak melontarkan pertanyaan tapi pernyataan. Beberapa jenis pertanyaan diantaranya

a. Pertanyaan informatif adalah pertanyaan untuk meminta informasi atau keterangan suatu fakta.

b. Pertanyaan konfirmatif adalah pertanyaan wartawan yang meminta konfirmasi dari sumber berita.

c. Pertanyaan verifikatif adalah pertanyaan yang meminta pemeriksaan atau pengecekan tentang kebenaran laporan.

d. Pertanyaan sugestif adalah pertanyaan wartawan untuk menyugesti narasumber.

e. Pertanyaan provokatif adalah pertanyaan yang menantang atau memancing narasumber untuk menyatakan sesuatu yang diharapkan sang wartawan.

Pewawancara harus cermat dan tepat memilih satu atau beberapa jenis pertanyaan sesuai dengan tujuannya berwawancara serta situasi dan kondisi yang tengah berlangsung. Jawaban yang bagus dari terwawancara dapat muncul dari pertanyaan yang bagus pula dari pewawancara.

Ciri-ciri pewawancara Profesional

a. Memiliki pengetahuan umum yang luas

b. Memiiki naluri atau rasa ingin tahu yang besar

c. Mampu berbahasa dengan baik

d. Tidak mewawancarai dengan kepala kosong

e. Menyadari betul statusnya sebagai pemegang mandat masyarakat

f. Bersikap kritis dan skeptis.

g. Mampu memosisikan diri sejajar dengan terwawancara.

h. Tidak angkuh dan sok tahu.

i. Sopan dan hormat terhadap terwawancara.

j. Tidak menginterogasi terwawancara.

k. Mampu berempati terhadap terwawancara.

l. Mengetahui dan menaati kode etik Jurnalistik yang berlaku.

Bila paparan diatas terpenuhi oleh seorang pewawancara, maka ia pantas kita sebut sebagai pewawancara professional.

II. Apresiasi

Sudah menjadi naluri pada dasarnya manusia memiliki rasa ingin tahu dan rasa ingin memberitahukan. Bahkan, hal tersebut tercantum dalam deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Dalam membuat sebuah berita, wartawan tidak boleh mencampurkan antara opini dan fakta. Agar tidak menjadi sebuah opini, tentu dibutuhkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan. Penginderaan wartawan tentu saja sangat terbatas. Oleh karena itu, wawancara dibutuhkan dalam pencarian berita. Kutipan-kutipan dari terwawancara akan memudahkan seorang wartawan dalam membuat berita.

Nilai berita adalah sesuatu yang dikejar wartawan. Tidak ada klasifikasi bagaimana nilai berita yang baik karena nilai berita ditentukan oleh pembaca itu sendiri.

Laporan sebuah peristiwa atau kejadian dapat pula berisi pendapat atau pernyataan yang telah diucapkan. Oleh karena itu, wawancara menjadi penting dalam konteks ini. Pertanyaan yang diajukan dalam sebuah wawancara akan menjadi penting karena pertanyaan itu yang menjadikan bagus tidaknya sebuah jawaban dari terwawancara. Oleh karena itu, pemilihan pertanyaan menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya dari kegiatan wawancara itu sendiri.

Pewawancara yang baik memiliki mental yang baik pula. Ketika dihadapkan dengan terwawancara, banyak pewawancara yang gugup sehingga inti dari wawancara itu terkesampingkan dan pembicaraan menjadi kesana kemari tak karuan.

Untuk menjadi pewawancara yang profesional, tidak hanya diperlukan ciri-ciri seperti yang telah dipaparkan diatas. Tetapi juga diperlukan pendidikan yang cukup. Salah satu caranya adalah menjadi mahasiswa jurnalistik sekolah atau perguruan tinggi yang kredibel.

III. Simpulan

· Rasa ingin tahu dideklarasikan oleh PBB dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

· Fakta berupa kejadian atau peristiwa yang telah terjadi.

· Khalayak ingin mengetahui bagaimana peristiwa bisa terjadi.

· Aspek yang memenuhi nilai berita tidak akan berpengaruh banyak karena yang menilai adalah pembaca.

· Pertanyaan dalam sebuah wawancara akan memengaruhi hasil atau jawaban dan isi sebuah berita yang akan dimuat.

· Faktor pendidikan juga harusnya masuk kedalam ciri-ciri pewawancara professional.

IV. Pertanyaan

1. Apa ukuran ‘profesionalisme’ dalam sebuah pekerjaan wartawan

2. Bagaimana apabila kebebasan dikekang?

3. Bagaimana wawancara investigatif bekerja sedangkan seorang pewawancara dilarang menginterogasi terwawancara?

4. Apa yang akan terjadi apabila terwawancara dan pewawancara berselisih paham dan wawancara tidak dapat dilanjutkan?

Bagaimana apabila pewawancara melanggar Kode Etik Jurnalistik, namun tidak ada orang yang tahu kecuali terwawancara?

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts